Breaking News

Kemerdekaan Bagi Yang Berpangku Tangan

Gisti Kartika


Kau ini memanglah pemuda yang berlagak, sudah tau di jaman sekarang mencari kerja susah, malah sok-sok an mau menolak. Sudahlah, baiknya kau keluar dari ruangan ini!

Hiruk pikuk yang tadinya mengisi setiap sudut ruangan kantor menjadi terdiam selama beberapa saat tatkala sebuah suara lantang dan penuh amarah terdengar dari dalam ruangan kecil yang bertuliskan “Redaktur”. Tak lama setelah itu keluarlah pemuda dengan setelan kemeja kotak-kotak dan celana cingkrang hitam dengan raut wajah kelelahan dan rambut yang semrawut.

Pemuda itu melewati setiap bisik-bisik karyawan yang ditujukan kepada dirinya, beberapa di antaranya ada yang langsung melayangkan tatapan sinis, beberapa yang lainnya menunjukan rasa simpati dengan raut wajah iba. Ia terpaksa menebalkan telinga dan menundukkan kepala sembari terus melangkah keluar dari ruangan kantor itu. Setelah sampai di luar, ia memandang sekali lagi ke arah bangunan pencakar langit itu sembari menghembuskan napas gusar. Rasanya udara yang dihirup tak lagi sama seperti sejak pertama kali menginjakan kaki di sana. Tiba-tiba keningnya jadi berkerut dan terbesit dalam pikiran bahwa keputusan yang diambil apakah tepat sepenuhnya?

***

 

Parjok memandangi perempuan paruh baya yang sedang melayani pembeli di warung depan rumah. Orang-orang yang datang bergantian dilayaninya dengan ramah ditambah sebuah senyuman di bibir. Sering kali dengan badannya yang ringkih itu ia tampak kesulitan, oleh karenanya sesekali diregangkan otot-ototnya ketika ada waktu istirahat barang sedikit saja.


Pemandangan yang serupa itu biasa dilihat Parjok setiap paginya. Warung sembako perempuan paruh baya yang dipanggilnya Amak itu tak pernah sepi pembeli. Selalu saja ada tetangga yang datang berbelanja harian walau hanya satu sachet micin. Jika dilihat warung Amak tidaklah lengkap-lengkap amat. Bangunan warung hanya terbuat dari papan triplek kusam yang tidak diganti setelah bertahun-tahun, barang dagangan juga disusun dengan seadanya. Bila dipikir hal itu dapat terjadi bukanlah tanpa alasan. Amak senantiasa melayani pembeli dengan ramah, tidak pernah barang sejenak pun menampakkan ekspresi cemberut apalagi marah-marah. Bahkan, sering kali ia memberikan hutang dan pinjaman kepada orang-orang. Sebab Amak pengiba dan tak pandai menagih-nagih macam rentenir, tak sedikit pula yang berhutang itu menjadi semena-mena bahkan enggan mengembalikan pinjaman.

Parjok yang mengetahui itu menjadi tersulut emosi dan meminta kepada Amak daftar orang-orang yang berhutang, namun Amak segera menepis keinginannya dan berkata,"ndak usah macam-macam, Jok! Amak ndak masalah dengan perkara itu, sebab Amak ikhlas dan sejak awal memang hanya menyerahkan sepenuhnya orang- orang itu pada Allah..."

"Mak, ini ndak sekedar perkara ikhlas atau bagaimana, ini perkara harga diri Amak diinjak dan diremehkan. Lagi pula perihal bisnis ndak ada seorang pun yang kepingin rugi. Tidakkah Amak mengerti?"

"Betul apa yang kau katakan, tapi Amak berjualan sebab hanya ingin mengisi kekosongan hari dan membantu orang-orang di kampung saja, bukanlah kepingin mengejar untung serupa yang anak muda pikirkan. Lagi pula Nak, banyaknya yang berhutang tak sebanding dengan banyaknya yang beli. Sudahlah Parjok! Jangan kau pikirkan lagi persoalan ini, biarkan Amak yang mengurus warung dan orang-orang itu!"


Parjok hanya bisa terdiam dan menghela napas pasrah bila Amak sudah begitu. Ia tak akan pernah sanggup menentang perempuan paruh baya yang amat dicintainya itu. Bertahun-tahun ia disekolahkan Amak dengan uang hasil penjualan warung. Bahkan untuk melamar kerja pun Amak masih menyisakan sedikit keuntungan usahanya untuk bekal dirinya di rantau. Rasa-rasanya tidak patut bila ia mendebat Amak perihal untung dan rugi lagi.

Asyik menyesap kopi di teras rumah, tiba-tiba sebuah mobil pickup berwarna hitam memasuki halaman rumah. Seorang pria paruh baya turun dari mobil dan mengangkuti satu persatu dari bak belakang mobil karung-karung lusuh yang berisi tanaman Pinang. Parjok yang melihat itu terkesiap dan segera menghampiri pria itu, ikut bantu menurunkan karung satu persatu. Pria paruh baya yang hampir di setiap garis wajahnya dihiasi kerutan itu memandang sejenak ke arah Parjok. Sebentar kemudian ia beranjak dari sana dan duduk di kursi teras sembari mengibas-ngibas dengan koran badannya yang kepanasan.

"Jauh perjalan hari ini, Pak?" Parjok sedikit membereskan barang-barang yang ada di atas meja lalu kemudian membawanya masuk ke dalam.

"Lumayan Jok, sampai ke daerah Taeh Bukit". Parjok mengangguk dari dalam rumah sembari menuangkan air dingin ke dalam gelas baru. Ia paling tahu kebiasaan Apaknya setiap kali pulang bekerja. Ditambah cuaca yang terik pastilah pelepas dahaga sangat dibutuhkan Apaknya. Sejenak ia tampak berpikir bahwa perjalanan Apaknya kali ini tidaklah mudah. Pasalnya ia mengetahui bahwa daerah Taeh Bukit sangatlah jauh dari pusat kota dan medan yang ditempuh cukup beraral. Parjok pun keluar dari dalam rumah dan menyodorkan air dingin itu kepada Apaknya.

"Tak perlulah kau repot-repot macam ini, Jok!"

 

"Ndak masalah, Pak. Apak tengoklah! Amak sedang sibuk berjualan, tak sempat bikinkan Apak minum." Parjok menunjuk ke arah Amak yang masih saja melayani pembeli di warung. Ketika pria paruh baya itu meneguk air putih dinginnya dengan sekali teguk, Parjok memandangi ayah satu orang anak itu lekat-lekat. Sama halnya seperti Amak, badannya pun sudah ringkih. Peluh bersileweran di setiap sudut mungka dan badannya. Kulitnya semakin menggelap sebab senantiasa terpapar sinar mentari. Sejak ia kecil hingga dewasa, Apak tak pernah berhenti bekerja. Ketika dulu ia masih bekerja di perusahaan penerbit terkemuka di kota, Apak masih saja ingin bekerja. Padahal, gajinya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tapi Apak menolak dan berkata bahwa bekerja adalah tanggung jawabnya bahkan sampai ia tutup usia. Ia tak mau melepaskan tanggung jawab itu sepenuhnya kepada anak.

Hingga saat Parjok sudah berhenti bekerja, meskipun sedih Apak tetap melanjutkan pekerjaannya. Walaupun kadang-kadang perasaan tak enak masih muncul perihal Parjok yang tiba-tiba memutuskan berhenti dari pekerjaannya yang menjanjikan itu. Pernah sekali ia bertanya, Parjok hanya menjawab bahwa ia hanya menginginkan pekerjaan yang lebih layak. Apak yang mendengar itu luar biasa keheranan. Bukankah selama ini ia duduk di dalam ruangan kantor ber-AC ? Bukankah gedung kantornya sangat megah hingga hampir menyentuh atap langit? Bukankah gaji yang ia terima sangat besar? Bahkan, mobil pickup yang selama ini dibawanya saban hari untuk bekerja dibeli dari gaji anaknya. Kurang apa lagi? Ingin sekali ia bertanya kembali, tapi ia belum sampai hati mengulik-ngulik pilihan yang telah diambil anak semata wayangnya itu. Sebagai seorang yang hanya tamatan SD, ia percaya sepenuhnya kepada anak muda yang sudah sarjana. Tapi...

"Jok, tadi Apak bertemu anaknya Pak Magek di jalan" "Johar?"

"Betul. Kau tau apa yang dia ceritakan pada Apak?" "Tentu tidak."

"Katanya dia sudah dapat pekerjaan di kota" "Syukurlah. Di mana?"

"Perusahaan penerbitan kau dahulu. Katanya ia ada di posisi editor tetap.

Bukankah itu juga pekerjaan kau dahulu?"


Parjok terdiam beberapa saat. Ia tidak menyangka Johar bisa tembus perusahaan itu. Sebagai perusahaan penerbitan nomor satu dan terkemuka di kota, rasa- rasanya tidak mungkin sembarang memilih orang di posisi editor tetap. Sekurang- kurangnya orang tersebut mesti punya karir di bidang kepenulisan yang diakui nasional. Setahunya, Johar tidak pernah lebih baik di bidang kepenulisan sejak ia berada di sekolah yang sama hingga jurusan yang sama di perguruan tinggi. Apa sekarang ia telah banyak berubah?

"Padahal dulu ia menganggur sampai setahun, sekarang sudah bekerja saja di perusahaan yang kau tinggalkan. Apak lihat ia tampak merdeka sekarang. Tadi Apak ditraktirnya makan. Wah roda memanglah berputar Jok..."

"Saya sudah bisa belikan Apak mobil dengan gaji saya di perusahaan itu dahulu, bukankah saya sudah merdeka lebih dahulu ketimbang dia?"

"Tapi sekarang kau menganggur, ia yang bekerja. Arti kata lain, pekerjaan kau sudah dicuri olehnya. Belum lagi katanya ia mau segera menikah bulan besok.”

"Saya sarjana, Pak. Hilang satu tumbuh seribu. Saya bisa dapatkan pekerjaan yang lebih memerdekakan saya, Amak, dan Apak. Tenang saja..."

"Menurut Apak, tak layaklah kau terlalu membanggakan gelar sarjana kau itu. Jaman sekarang mencari pekerjaan susah. Lagi pula, melihat kau sudah mendapatkan pekerjaan yang mapan dan segera berumah-tangga adalah cita-cita Apak dan Amak sejak dahulu. Sudahlah Jok, Apak mau berkemas mandi. Lebih baik kau renungi saja apa yang telah Apak sampaikan tadi. Dan berpikir untuk segera mendapatkan pekerjaan yang layak lagi."

Parjok termenung kembali setelah Apak beranjak masuk ke dalam rumah. Sesaat ia tampak berpikir keras, sebentar kemudian ia tampak tersenyum. Seolah ada perasaan yang melegakan di hati. Ingin sekali ia bercerita kepada kedua orang tuanya alasan sesungguhnya ia berhenti bekerja di perusahaan itu. Tapi...


"Jok! Mengapa kau senyum-senyum serupa itu seorang diri? Macam orang pandir!"

Amak datang sembari membetulkan posisi kain panjang di badannya. Wanita paruh baya itu tampak cemas dengan gelagat anak semata wayangnya itu.

"Saya masih waras, Mak! Tak bolehkah orang menampakkan senyum di wajah?"

"Boleh saja, tapi tidak saat sendiri. Ah kau ini..."

 

Parjok tergelak melihat ekspresi ketakutan di wajah Amaknya. Sebentar ia memandang ke arah Amak, sebentar kemudian ia memandang ke arah warung Amak yang sudah sepi pembeli. "Amak sudah mau tutup?" Amak pun masuk ke dalam rumah dengan tergesa, Parjok mengekori Amak dari belakang sembari membawa gelas yang ada di atas meja tadi. "Belumlah, Amak mau sembahyang dahulu. Sebentar lagi lohor mau habis."

Esoknya, sinar mentari kembali menampakkan dirinya di balik dedaunan dan tanaman liar yang tumbuh subur. Embun bergulir di atasnya dengan tenang. Sementara, udara di perbukitan sana terlihat berkabut abu-abu. Sebuah pagi yang melengkapi nuansa perkampungan sederhana dengan keramaian anak-anak kecil bermain di sekitarnya.

Warung Amak tampak ramai kembali. Seperti biasa ibu-ibu kampung yang hendak berbelanja dan sekedar duduk-duduk bercerita saja. Kadang-kadang bapak- bapak yang hendak ke sawah juga mampir sejenak untuk membeli rokok dan sebagainya. Kebetulan hari ini Parjok membantu Amak berjualan di warung. Sebetulnya ia tidak perkenankan, tapi Parjok bersikeras ingin membantu karena sedang luang dan sekadar mengisi kekosongan saja. Ibu-ibu yang berbelanja di warung Amak sesekali mengajak Parjok bercerita, kadang sempat digodanya pula sebab bujangan itu masihlah seorang bujangan yang memiliki pesonanya sendiri. Tapi tak ayal dari sekian banyak penceritaan ibu-ibu itu tak ada yang terlepas dari perkataan dan pertanyaan mengapa berhenti bekerja? Lalu sekarang bekerja di mana? Kapan hendak menikah? Bahkan pembahasan mengenai Johar yang sudah bekerja di perusahaan ia dahulu.


Parjok tidak menggubris pertanyaan ibu-ibu itu dengan serius, ia hanya menanggapi dengan candaan seadanya. Ketika ibu-ibu itu mulai bosan dan kesal dengan respon Parjok, mereka pun mulai beranjak pergi dan pamit pada Amak. Begitulah, Parjok memaklumi tabiat ibu-ibu di kampung. Pikirnya ia menganggur, sejatinya ibu-ibu itulah yang lebih kurang kerjaan dan suka mengurusi kehidupan orang lain. Sebagai anak muda ia sudah mengkhatami hal serupa itu.

"Lain kali ndak usah bantu Amak di warung lagi." "Mengapa begitu?"

"Amak ndak suka kau dijulidkan ibu-ibu itu, Nak!"

 

"Amak pedulikan mereka? Tak usah demikian, berikan apa yang mereka beli lalu ambil uangnya. Lepas itu kembali melayani yang lain."

"Kau pikir semudah itu? Lha Amak kau ini seorang ibu. Siapa yang hatinya tak sedih bila anaknya ditanya-tanya serupa itu?"

"Bila begitu harusnya tadi Amak tampar atau julidkan balik ibu-ibu itu!"

 

Amak memukul lengan Parjok kilat, pemuda itu mengaduh sebentar lalu kemudian tergelak. Suka sekali ia memancing kekesalan Amaknya.

"Mengapa kau sering begini? Amak ndak bercanda, Nak. Baru sebentar bantu Amak berjualan, ibu-ibu sudah menjulidkan kau begitu. Bila kau tahu, sejak beberapa hari yang lalu yang datang belanja juga sudah mengusik Amak."

"Mengusik bagaimana?"

 

"Mereka bercerita si Johar anak Pak Magek sudah dapat pekerjaan di perusahaan yang sama tempat kau bekerja dahulu. Bulan besok hendak menikah pula dengan anak kepala kampung sebelah. Kuping Amak panas kau dibanding-bandingkan terus. Mestinya kau ndak berhenti bekerja di sana, Nak!"


"Siapa yang tahu kehidupan ini, Mak. Amak mesti ingat roda itu berputar."

 

Amak menghembuskan napasnya gusar, perempuan paruh baya itu tidak mengerti lagi dengan jalan pikiran anaknya. Bila ditanya alasan berhenti bekerja di perusahaan, jawabannya sering kali tidak memuaskan dan tepat di hati orang tua itu. Sampai sekarang pun belum juga dapatkan kerja. Kadang ia khawatir mengingat usianya sudah layaknya seperti petang berkawan senja. Ingin pula ia melihat anak satu- satunya itu bisa bahagia.

Parjok memandangi Amak yang duduk membelakanginya sembari melipat baju-baju. Ia tahu Amak tampak bekerja tapi pikiran dan hatinya memikirkan dirinya begitu keras. Terlihat pada keningnya yang mulai berkerut dan air wajahnya yang tak lagi tenang seperti sebelumnya. Ia mengerti kekhawatiran kedua orang tuanya. Mereka yang hanya tamatan sekolah dasar sering kali terpancing omongan masyarakat. Padahal, bila ditelisik lebih jauh omongan itu tidaklah bisa dibenarkan sepenuhnya. Lagi pula, sebab ia menyayangi kedua orang tuanya, ia ingin memberikan sesuatu yang bernilai dari kejujuran jua. Bukan dari kebohongan yang dihiasi embel-embel dan penilaian manusia semata. Tapi tentulah sulit menjelaskan hal serupa itu saat ini.

***

 

Beberapa bulan kemudian, warung Amak tampak ramai sekali oleh ibu-ibu kampung. Tapi, kali ini mereka tidak sedang berbelanja melainkan tengah berkumpul untuk bercerita. Sangat berbeda, bapak-bapak dan Amak sebagai pemilik warung juga turut serta. Bagaimana tidak? Masyarakat sekampung tengah dihebohkan dengan berita keluarga Pak Magek. Anaknya, si Johar yang beberapa bulan belakangan dikabarkan tengah berbahagia dengan kemerdekaan finansial dan pernikahan, akhirnya mendapatkan kabar yang tak sedap jua. Dua hari yang lalu pihak kepolisian setempat beramai datang ke rumah Pak Magek, melakukan penangkapan kepada Johar atas aksi penggelapan uang yang dilakukannya bersama redaktur perusahaan tempat ia bekerja. Keluarga Pak Magek sungguh terkejut dengan penangkapan itu. Lain halnya Johar, ia tampak sudah pasrah diborgol dan dipaksa polisi masuk ke dalam mobil. Adapun istrinya yang cantik menangis histeris menyaksikan hal itu. Pak Johar dan istri lain lagi, tak menyangka perbuatan serupa itu diperbuat anaknya.


 

Beralih ke kediaman Parjok, Apaknya berjalan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah dengan diikuti Amak di belakang. Orang tua berdua itu tengah mencari-cari sosok Parjok. Apakah ia sudah tahu berita serupa itu?

"Parjok...!"

 

Yang dipanggil pun menongol dari bilik mandi. Ia tampak habis keramas dan mengelap-ngelap rambutnya dengan handuk. Melihat Apak dan Amaknya begitu, ia pun diburu rasa khawatir.

"Ada apa Pak, Mak? Macam orang dikejar hutang?!"

 

"Ini lebih gawat dari sekadar dikejar hutang, Nak. Kau tau berita Johar dua hari yang lalu?"

"Tidak tau. Berita apa? Apa dia sudah diangkat jadi redaktur di perusahaan itu?"

 

"Tidak, Nak! Dia ditangkap polisi karena kasus penggelapan uang di perusahaan itu!"

"Wah..." Parjok segera beringsut dari posisi berdirinya ke arah meja makan, anehnya ia tak tampak begitu terkejut. Ekspresi itu ditangkap kedua orang tuanya. Mereka keheranan bukan main, dalam hati bertanya-tanya, apakah Parjok sudah mengetahui hal ini sebelumnya? Tapi kedua orang tua itu pada akhirnya tampak diam saja. Tak berani memulai perkataan lagi. Dilihatnya Parjok mulai mengambil nasi di bakul dan beberapa lauk untuk dimakan. Sejenak kemudian ia menatap ke arah kedua orang tua itu, ia tampak tenang dan mengajak mereka ikut bergabung makan. Kedua orang tua itu menurut saja. Amak mengambil tempat duduk di hadapan Parjok, sekejap kemudian ia mulai menangis haru.

Sementara itu, suasana di luar rumah tampak cerah. Burung perkutut betulan bertengger di dahan-dahan pohon trembesi dekat jalan. Seperti biasa warung dan rumah


Parjok tampak sederhana bila dilihat dari kejauhan, di terasnya sebuah koran pagi terletak di atas meja, dengan headline teratas menampilkan berita terbaru, "Editor dan Redaktur Perusahaan Penerbitan XXX Ditangkap Polisi Karena Kasus Penggelapan Uang". Di bawah headline itu ditulis penjelasan bahwa redaktur dan editor perusahaan saling bekerja sama untuk menggelapkan uang perusahaan. Kronologisnya redaktur yang sering kali berbuat kecurangan di perusahaan membujuk editor baru untuk ikut melancarkan aksinya. Karena didesak oleh keadaan finansial dan iming-iming uang ratusan juta editor baru tersebut kalap juga. Nahas hal ini diketahui manager perusahaan hingga berujung penangkapan dan perseteruan menegangkan di meja keadilan.


1 Komentar

  1. Kerennn✨
    Setuju banget dengan pandangan penulis,,,gaji yang tinggi, finansial yang mappan..belum bisa membuktikan kalau anda itu merdeka..bisa saja kemerdekaan itu hadir kepada mereka yang berpangku tangan 🙏 semoga kita semua selalu Istiqomah dijalan yang benar..Aaminn

    BalasHapus

© Copyright 2022 - LPM basic FMIPA UB