Kau ini memanglah pemuda yang
berlagak, sudah tau di jaman sekarang mencari kerja susah, malah sok-sok an mau
menolak. Sudahlah, baiknya kau keluar dari ruangan ini!
Hiruk pikuk
yang tadinya mengisi
setiap sudut ruangan
kantor menjadi terdiam selama beberapa saat tatkala
sebuah suara lantang dan penuh amarah terdengar dari dalam ruangan kecil yang
bertuliskan “Redaktur”. Tak lama setelah itu keluarlah pemuda dengan setelan
kemeja kotak-kotak dan celana cingkrang hitam dengan raut wajah kelelahan dan
rambut yang semrawut.
Pemuda itu
melewati setiap bisik-bisik karyawan yang ditujukan kepada dirinya, beberapa
di antaranya ada yang langsung
melayangkan tatapan sinis,
beberapa yang lainnya menunjukan rasa simpati dengan
raut wajah iba. Ia terpaksa
menebalkan telinga dan menundukkan kepala sembari terus melangkah keluar dari ruangan kantor itu. Setelah
sampai di luar, ia memandang
sekali lagi ke arah bangunan
pencakar langit itu sembari
menghembuskan napas gusar. Rasanya udara yang dihirup tak lagi sama seperti sejak pertama kali menginjakan kaki di sana. Tiba-tiba keningnya jadi berkerut dan
terbesit dalam pikiran bahwa keputusan yang diambil apakah tepat sepenuhnya?
***
Parjok
memandangi perempuan paruh baya yang sedang melayani pembeli di warung depan
rumah. Orang-orang yang datang bergantian dilayaninya dengan ramah ditambah sebuah senyuman di bibir. Sering kali dengan badannya yang ringkih itu ia tampak kesulitan, oleh karenanya
sesekali diregangkan otot-ototnya ketika ada waktu istirahat barang sedikit
saja.
Pemandangan
yang serupa itu biasa dilihat Parjok setiap paginya. Warung sembako perempuan paruh baya yang dipanggilnya Amak itu tak pernah sepi pembeli.
Selalu saja ada tetangga yang datang berbelanja harian walau hanya satu sachet micin. Jika dilihat warung Amak
tidaklah lengkap-lengkap amat. Bangunan warung hanya terbuat dari papan triplek
kusam yang tidak diganti setelah bertahun-tahun, barang dagangan juga disusun
dengan seadanya. Bila dipikir hal itu dapat terjadi bukanlah tanpa alasan. Amak
senantiasa melayani pembeli dengan ramah, tidak pernah barang sejenak pun
menampakkan ekspresi cemberut apalagi marah-marah. Bahkan, sering kali ia
memberikan hutang dan pinjaman kepada orang-orang. Sebab Amak pengiba dan tak
pandai menagih-nagih macam rentenir, tak sedikit pula yang berhutang itu
menjadi semena-mena bahkan enggan mengembalikan pinjaman.
Parjok yang mengetahui itu menjadi tersulut
emosi dan meminta
kepada Amak daftar orang-orang
yang berhutang, namun Amak segera menepis keinginannya dan berkata,"ndak usah macam-macam, Jok! Amak ndak masalah dengan perkara itu, sebab
Amak ikhlas dan sejak awal memang hanya menyerahkan sepenuhnya orang- orang itu
pada Allah..."
"Mak, ini
ndak sekedar perkara ikhlas atau
bagaimana, ini perkara harga diri Amak diinjak dan diremehkan. Lagi pula
perihal bisnis ndak ada seorang pun
yang kepingin rugi. Tidakkah Amak mengerti?"
"Betul
apa yang kau katakan, tapi Amak berjualan sebab hanya ingin mengisi kekosongan
hari dan membantu orang-orang di kampung saja, bukanlah kepingin mengejar
untung serupa yang anak muda pikirkan. Lagi pula Nak, banyaknya yang berhutang
tak sebanding dengan banyaknya yang beli. Sudahlah Parjok! Jangan kau pikirkan
lagi persoalan ini, biarkan Amak yang mengurus warung dan orang-orang itu!"
Parjok hanya
bisa terdiam dan menghela napas pasrah bila Amak sudah begitu.
Ia tak akan pernah sanggup menentang perempuan paruh baya yang amat dicintainya
itu. Bertahun-tahun ia disekolahkan Amak dengan uang hasil penjualan warung.
Bahkan untuk melamar kerja pun Amak masih menyisakan sedikit keuntungan
usahanya untuk bekal dirinya di rantau. Rasa-rasanya tidak patut bila ia
mendebat Amak perihal untung dan rugi lagi.
Asyik menyesap
kopi di teras rumah, tiba-tiba sebuah mobil pickup
berwarna hitam memasuki halaman rumah. Seorang pria paruh baya turun dari
mobil dan mengangkuti satu persatu dari bak belakang mobil karung-karung lusuh
yang berisi tanaman Pinang. Parjok yang melihat itu terkesiap dan segera
menghampiri pria itu, ikut bantu menurunkan karung satu persatu.
Pria paruh baya yang hampir
di setiap garis wajahnya dihiasi kerutan itu
memandang sejenak ke arah Parjok. Sebentar kemudian ia beranjak dari sana dan
duduk di kursi teras sembari mengibas-ngibas dengan koran badannya yang
kepanasan.
"Jauh perjalan
hari ini, Pak?" Parjok sedikit membereskan barang-barang yang
ada di atas meja lalu kemudian membawanya masuk ke dalam.
"Lumayan Jok, sampai ke daerah Taeh Bukit". Parjok mengangguk dari dalam
rumah sembari menuangkan air dingin
ke dalam gelas baru. Ia paling tahu kebiasaan Apaknya setiap kali pulang
bekerja. Ditambah cuaca
yang terik pastilah
pelepas dahaga sangat
dibutuhkan Apaknya. Sejenak ia tampak berpikir bahwa perjalanan Apaknya kali
ini tidaklah mudah. Pasalnya ia mengetahui bahwa daerah Taeh Bukit sangatlah
jauh dari pusat kota dan medan yang ditempuh cukup beraral. Parjok pun keluar
dari dalam rumah dan menyodorkan air dingin itu kepada Apaknya.
"Tak perlulah kau
repot-repot macam ini, Jok!"
"Ndak masalah, Pak. Apak tengoklah! Amak sedang sibuk berjualan, tak sempat bikinkan Apak minum." Parjok menunjuk ke arah Amak yang masih saja melayani pembeli di warung. Ketika pria paruh baya itu meneguk air putih dinginnya dengan sekali teguk, Parjok memandangi ayah satu orang anak itu lekat-lekat. Sama halnya seperti Amak, badannya pun sudah ringkih. Peluh bersileweran di setiap sudut mungka dan badannya. Kulitnya semakin menggelap sebab senantiasa terpapar sinar mentari. Sejak ia kecil hingga dewasa, Apak tak pernah berhenti bekerja. Ketika dulu ia masih bekerja di perusahaan penerbit terkemuka di kota, Apak masih saja ingin bekerja. Padahal, gajinya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tapi Apak menolak dan berkata bahwa bekerja adalah tanggung jawabnya bahkan sampai ia tutup usia. Ia tak mau melepaskan tanggung jawab itu sepenuhnya kepada anak.
Hingga saat
Parjok sudah berhenti bekerja, meskipun sedih Apak tetap melanjutkan pekerjaannya. Walaupun kadang-kadang perasaan
tak enak masih muncul
perihal Parjok yang tiba-tiba memutuskan berhenti dari pekerjaannya yang menjanjikan
itu. Pernah sekali ia bertanya, Parjok hanya menjawab bahwa ia hanya
menginginkan pekerjaan yang lebih layak. Apak yang mendengar itu luar biasa
keheranan. Bukankah selama ini ia duduk di dalam ruangan
kantor ber-AC ? Bukankah
gedung kantornya sangat
megah hingga hampir menyentuh atap langit? Bukankah
gaji yang ia terima sangat besar? Bahkan, mobil pickup yang selama ini dibawanya saban hari untuk bekerja dibeli
dari gaji anaknya. Kurang apa lagi? Ingin sekali ia bertanya kembali, tapi ia
belum sampai hati mengulik-ngulik pilihan yang telah diambil anak semata
wayangnya itu. Sebagai seorang yang hanya tamatan SD, ia percaya sepenuhnya
kepada anak muda yang sudah sarjana. Tapi...
"Jok, tadi Apak bertemu
anaknya Pak Magek
di jalan" "Johar?"
"Betul. Kau tau apa yang dia ceritakan pada Apak?"
"Tentu tidak."
"Katanya dia sudah dapat
pekerjaan di kota" "Syukurlah. Di
mana?"
"Perusahaan penerbitan kau dahulu.
Katanya ia ada di posisi editor tetap.
Bukankah itu juga pekerjaan
kau dahulu?"
Parjok terdiam
beberapa saat. Ia tidak menyangka Johar bisa tembus perusahaan itu. Sebagai perusahaan penerbitan nomor satu dan terkemuka di kota, rasa- rasanya tidak mungkin sembarang
memilih orang di posisi editor tetap. Sekurang- kurangnya orang tersebut mesti
punya karir di bidang kepenulisan yang diakui nasional. Setahunya, Johar tidak
pernah lebih baik di bidang kepenulisan sejak ia berada di sekolah yang sama
hingga jurusan yang sama di perguruan tinggi. Apa sekarang ia telah banyak
berubah?
"Padahal
dulu ia menganggur sampai setahun, sekarang sudah bekerja saja di perusahaan
yang kau tinggalkan. Apak lihat ia tampak merdeka sekarang. Tadi Apak
ditraktirnya makan. Wah roda memanglah berputar Jok..."
"Saya sudah bisa belikan Apak mobil dengan gaji saya di perusahaan itu dahulu, bukankah
saya sudah merdeka lebih dahulu ketimbang dia?"
"Tapi sekarang
kau menganggur, ia yang bekerja.
Arti kata lain, pekerjaan kau sudah dicuri olehnya. Belum lagi
katanya ia mau segera menikah bulan besok.”
"Saya
sarjana, Pak. Hilang satu tumbuh seribu. Saya bisa dapatkan pekerjaan yang
lebih memerdekakan saya, Amak, dan Apak. Tenang saja..."
"Menurut
Apak, tak layaklah kau terlalu membanggakan gelar sarjana kau itu.
Jaman sekarang mencari pekerjaan susah. Lagi pula, melihat kau sudah
mendapatkan pekerjaan yang mapan dan segera berumah-tangga adalah cita-cita
Apak dan Amak sejak dahulu. Sudahlah Jok, Apak mau berkemas mandi. Lebih baik
kau renungi saja apa yang telah
Apak sampaikan tadi.
Dan berpikir untuk
segera mendapatkan pekerjaan yang layak lagi."
Parjok
termenung kembali setelah Apak beranjak masuk ke dalam rumah. Sesaat ia tampak
berpikir keras, sebentar kemudian ia tampak tersenyum. Seolah ada perasaan yang
melegakan di hati. Ingin sekali ia bercerita kepada kedua orang tuanya alasan
sesungguhnya ia berhenti bekerja di perusahaan itu. Tapi...
"Jok! Mengapa
kau senyum-senyum serupa
itu seorang diri?
Macam orang pandir!"
Amak datang
sembari membetulkan posisi kain panjang di badannya. Wanita paruh baya itu
tampak cemas dengan gelagat anak semata wayangnya itu.
"Saya masih waras, Mak! Tak bolehkah
orang menampakkan senyum di wajah?"
"Boleh saja, tapi tidak
saat sendiri. Ah kau
ini..."
Parjok
tergelak melihat ekspresi ketakutan di wajah Amaknya. Sebentar ia memandang ke
arah Amak, sebentar kemudian ia memandang ke arah warung Amak yang sudah
sepi pembeli. "Amak sudah mau tutup?" Amak pun masuk
ke dalam rumah dengan tergesa, Parjok mengekori
Amak dari belakang sembari membawa gelas yang ada di atas meja tadi.
"Belumlah, Amak mau sembahyang dahulu. Sebentar lagi lohor mau
habis."
Esoknya, sinar
mentari kembali menampakkan dirinya di balik dedaunan dan tanaman liar yang tumbuh
subur. Embun bergulir
di atasnya dengan
tenang. Sementara, udara di
perbukitan sana terlihat berkabut abu-abu. Sebuah pagi yang melengkapi nuansa
perkampungan sederhana dengan keramaian anak-anak kecil bermain di sekitarnya.
Warung Amak
tampak ramai kembali. Seperti biasa ibu-ibu kampung yang hendak berbelanja dan
sekedar duduk-duduk bercerita saja. Kadang-kadang bapak- bapak yang hendak ke
sawah juga mampir sejenak untuk membeli rokok dan sebagainya. Kebetulan hari
ini Parjok membantu Amak berjualan di warung. Sebetulnya ia tidak perkenankan, tapi Parjok bersikeras ingin membantu karena
sedang luang dan sekadar
mengisi kekosongan saja. Ibu-ibu yang berbelanja di warung Amak sesekali mengajak Parjok bercerita, kadang sempat digodanya pula sebab bujangan
itu masihlah seorang bujangan
yang memiliki pesonanya sendiri. Tapi tak ayal dari sekian
banyak penceritaan ibu-ibu
itu tak ada yang terlepas
dari perkataan dan pertanyaan mengapa berhenti bekerja? Lalu
sekarang bekerja di mana? Kapan hendak menikah? Bahkan pembahasan mengenai
Johar yang sudah bekerja di perusahaan ia dahulu.
Parjok tidak
menggubris pertanyaan ibu-ibu itu dengan serius, ia hanya menanggapi dengan
candaan seadanya. Ketika ibu-ibu itu mulai bosan dan kesal dengan respon
Parjok, mereka pun mulai beranjak pergi dan pamit pada Amak. Begitulah, Parjok
memaklumi tabiat ibu-ibu di kampung. Pikirnya ia menganggur, sejatinya ibu-ibu
itulah yang lebih
kurang kerjaan dan suka mengurusi kehidupan orang
lain. Sebagai anak muda ia sudah mengkhatami hal serupa itu.
"Lain kali ndak usah bantu
Amak di warung
lagi." "Mengapa begitu?"
"Amak
ndak suka kau
dijulidkan ibu-ibu itu, Nak!"
"Amak
pedulikan mereka? Tak usah demikian, berikan apa yang mereka beli lalu ambil
uangnya. Lepas itu kembali melayani yang lain."
"Kau pikir semudah itu? Lha Amak kau ini seorang
ibu. Siapa yang hatinya tak sedih bila anaknya ditanya-tanya
serupa itu?"
"Bila begitu harusnya tadi Amak tampar atau julidkan balik
ibu-ibu itu!"
Amak memukul
lengan Parjok kilat, pemuda itu mengaduh sebentar lalu kemudian tergelak. Suka
sekali ia memancing kekesalan Amaknya.
"Mengapa
kau sering begini? Amak ndak bercanda,
Nak. Baru sebentar bantu Amak berjualan, ibu-ibu sudah menjulidkan kau begitu. Bila kau tahu, sejak beberapa hari yang lalu yang datang belanja juga sudah mengusik
Amak."
"Mengusik bagaimana?"
"Mereka
bercerita si Johar anak Pak Magek sudah dapat pekerjaan di perusahaan yang sama
tempat kau bekerja dahulu. Bulan besok hendak menikah pula dengan anak kepala kampung
sebelah. Kuping Amak panas kau dibanding-bandingkan
terus. Mestinya kau ndak berhenti
bekerja di sana, Nak!"
"Siapa yang tahu kehidupan ini, Mak. Amak mesti ingat roda itu berputar."
Amak
menghembuskan napasnya gusar, perempuan paruh baya itu tidak mengerti lagi
dengan jalan pikiran anaknya. Bila ditanya alasan berhenti bekerja di
perusahaan, jawabannya sering kali tidak memuaskan dan tepat di hati orang tua
itu. Sampai sekarang pun belum juga dapatkan kerja. Kadang ia khawatir
mengingat usianya sudah layaknya
seperti petang berkawan
senja. Ingin pula ia melihat
anak satu- satunya itu bisa
bahagia.
Parjok
memandangi Amak yang duduk membelakanginya sembari melipat baju-baju. Ia tahu
Amak tampak bekerja tapi pikiran dan hatinya memikirkan dirinya begitu keras.
Terlihat pada keningnya yang mulai berkerut dan air wajahnya yang tak lagi tenang seperti sebelumnya. Ia mengerti kekhawatiran kedua orang tuanya.
Mereka yang hanya tamatan sekolah dasar sering kali terpancing omongan
masyarakat. Padahal, bila ditelisik lebih jauh omongan itu tidaklah bisa
dibenarkan sepenuhnya. Lagi pula, sebab ia menyayangi kedua orang tuanya,
ia ingin memberikan sesuatu yang
bernilai dari kejujuran jua. Bukan dari kebohongan yang dihiasi embel-embel dan
penilaian manusia semata. Tapi tentulah sulit menjelaskan hal serupa itu saat
ini.
***
Beberapa bulan
kemudian, warung Amak tampak ramai sekali oleh ibu-ibu kampung. Tapi, kali ini
mereka tidak sedang berbelanja melainkan tengah berkumpul untuk bercerita. Sangat berbeda,
bapak-bapak dan Amak sebagai
pemilik warung juga turut serta. Bagaimana tidak?
Masyarakat sekampung tengah
dihebohkan dengan berita keluarga Pak Magek. Anaknya, si
Johar yang beberapa bulan belakangan dikabarkan tengah berbahagia dengan
kemerdekaan finansial dan pernikahan, akhirnya mendapatkan kabar yang tak sedap
jua. Dua hari yang lalu pihak kepolisian setempat beramai datang
ke rumah Pak Magek, melakukan
penangkapan kepada Johar atas aksi penggelapan uang yang dilakukannya bersama redaktur perusahaan tempat ia bekerja. Keluarga Pak Magek sungguh
terkejut dengan penangkapan itu. Lain halnya Johar, ia tampak sudah pasrah diborgol
dan dipaksa polisi
masuk ke dalam mobil. Adapun istrinya yang cantik menangis
histeris menyaksikan hal itu. Pak Johar dan istri lain lagi,
tak menyangka perbuatan serupa itu diperbuat anaknya.
Beralih ke
kediaman Parjok, Apaknya berjalan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah dengan
diikuti Amak di belakang. Orang tua berdua itu tengah mencari-cari sosok
Parjok. Apakah ia sudah tahu berita serupa itu?
"Parjok...!"
Yang dipanggil
pun menongol dari bilik mandi. Ia tampak habis keramas dan mengelap-ngelap
rambutnya dengan handuk. Melihat Apak dan Amaknya begitu, ia pun diburu rasa
khawatir.
"Ada apa Pak, Mak? Macam orang dikejar hutang?!"
"Ini lebih
gawat dari sekadar
dikejar hutang, Nak. Kau tau berita Johar dua hari yang lalu?"
"Tidak tau. Berita apa? Apa dia sudah diangkat
jadi redaktur di perusahaan itu?"
"Tidak,
Nak! Dia ditangkap polisi karena kasus penggelapan uang di perusahaan
itu!"
"Wah..."
Parjok segera beringsut dari posisi berdirinya ke arah meja makan, anehnya ia
tak tampak begitu terkejut. Ekspresi itu ditangkap kedua orang tuanya. Mereka
keheranan bukan main, dalam hati bertanya-tanya, apakah Parjok sudah mengetahui
hal ini sebelumnya? Tapi kedua orang tua itu pada akhirnya tampak diam
saja. Tak berani memulai perkataan lagi. Dilihatnya Parjok mulai mengambil nasi
di bakul dan beberapa lauk untuk
dimakan. Sejenak kemudian ia menatap ke arah kedua orang tua itu, ia tampak
tenang dan mengajak mereka ikut bergabung makan. Kedua orang tua itu menurut
saja. Amak mengambil tempat duduk di hadapan Parjok,
sekejap kemudian ia mulai menangis haru.
Sementara itu,
suasana di luar rumah tampak cerah. Burung perkutut betulan bertengger di dahan-dahan pohon
trembesi dekat jalan.
Seperti biasa warung
dan rumah
Parjok tampak
sederhana bila dilihat dari kejauhan, di terasnya sebuah koran pagi terletak di atas meja, dengan headline teratas menampilkan berita terbaru, "Editor dan Redaktur Perusahaan Penerbitan XXX
Ditangkap Polisi Karena Kasus Penggelapan Uang". Di bawah headline itu
ditulis penjelasan bahwa redaktur dan editor perusahaan saling bekerja sama untuk
menggelapkan uang perusahaan. Kronologisnya redaktur yang sering kali berbuat
kecurangan di perusahaan membujuk editor baru untuk ikut melancarkan aksinya.
Karena didesak oleh keadaan finansial dan iming-iming uang ratusan juta editor
baru tersebut kalap juga. Nahas hal ini diketahui manager perusahaan hingga
berujung penangkapan dan perseteruan menegangkan di meja keadilan.
1 Komentar
Kerennn✨
BalasHapusSetuju banget dengan pandangan penulis,,,gaji yang tinggi, finansial yang mappan..belum bisa membuktikan kalau anda itu merdeka..bisa saja kemerdekaan itu hadir kepada mereka yang berpangku tangan 🙏 semoga kita semua selalu Istiqomah dijalan yang benar..Aaminn