Zahra Shaffa Kamila
Aku berhenti menghitung Senin
semenjak kemalangan itu terjadi
di simpang jalan.
Persetan kepada semua pemilik
mobil, motor, sepeda,
trailer, bus, tronton,
atau apapun yang ramai mengepung jalanan tersebut setiap Senin
paginya—seolah hidup tetap baik-baik saja,
seolah hari Senin
itu tidak pernah
ada bedanya dengan
Senin yang kemarin. Anugerah
yang dikejar para pengais rezeki di hari Senin tidak lagi sebegitunya
menggiurkan bagiku. Senin adalah malapetaka, Senin adalah hari yang paling
kubenci sepanjang masa.
Waktu itu tengah hujan deras di Senin
penghujung Agustus tahun 1999. Dinamo sepedaku panas karena rodanya dikayuh
seharian dari desa sebelah. Sore itu, adikku minta dijemput setelah lelah
tergempur materi les bahasa Inggris. Karena Ibu lagi-lagi harus lembur hingga
subuh, siapa lagi yang bisa mengamini?
Kulewati simpang jalan itu dengan
basah kuyup. Aspal yang bolong-bolong akibat minimnya peremajaan memang sudah
biasa menampung kubangan air bercampur debu. Namun, hari itu mungkin memang aku
yang sengaja dipermainkan oleh Dewi Fortuna—terperosoklah ban depan sepedaku
itu ke lubang yang cukup dalam saat tiba di simpang jalan. Aku jatuh, kepala
duluan dan jackpot masuk ke kubangan air yang segera menghitamkan wajah.
Aku sudah lupa berapa sumpah serapah yang berdisko di dalam hati. Yang kuingat jelas justru dua buah tangan cekal yang segera menarikku dari aspal—badanku sempat mengambang, lalu dipapahnya aku ke bawah kanopi warung yang melindungi kami dari guyuran rinai galak.
“Jang,
masih bisa napaskah kau?” Suara itu sayup-sayup terdengar di antara pengangnya
telingaku, nadanya panik.
Aku tidak tahu kenapa kepalaku sakit,
aku tidak tahu kenapa orang itu memanggilku Jang, dan aku pun tak tahu kenapa
semua orang di sekitarku terdengar panik. Semuanya mengabur
di mataku. Waktu itu, aku sudah yakin akan menyeberang ke dunia lain kalau tidak ada
yang menyenggol sikutku. Demi Tuhan, efeknya begitu luar biasa menyengat seolah-olah aku disetrum listrik
lebih dari seratus
lima puluh ribu Volt. Dahiku berkerut dan yang bisa
keluar dari mulutku hanyalah erangan parau. Di situlah aku sadar kalau aku
tidak baik-baik saja.
“Tidak bisa merespon
baik rupanya Bujang
ini. Rambo, panggilkan ambulans!”
***
Aku tidak punya Bapak. Maka, ketika
aku terbangun di rumah sakit setelah kejadian naas di simpang jalan itu,
paru-paruku gelagapan. Kemalangan apa yang sampai harus memaksaku terseret ke
fasilitas sarat kemewahan? Sial!
Adalah seorang pria jangkung bertato
yang pertama kali menyapaku saat membuka mata. Ia mengenalkan diri sebagai Aji,
dan dia bilang dia banyak berdoa pada Tuhan agar aku bisa bangun walau tak
percaya konsep keagamaannya.
Aku, yang masih bocah SMP waktu itu,
hanya menganga bingung. Sejauh itukah dia bertindak demi aku?
“Tenang, Jang. Kami telah temukan keluargamu dan uang perawatan sudah
ditanggung,” terlepas dari tampilannya yang urakan, Aji bicara dengan bahasa
yang baku, “kami memang cuma anak jalanan, tapi duit kami banyak!”
Setelah bicara lebih lanjut, ternyata
Aji hanya empat tahun lebih tua dariku. Sayang, katanya dia belum sempat beres
sekolah sewaktu SMU. Itu sebabnya Aji enggan dipanggil dengan sematan “kakak”
atau apapun dalam spektrumnya—dia egaliter.
Tipikal anak tongkrongan, dia bisa cepat mengubah pembawaannya jadi asyik bagi semua orang. Saat ibuku masuk ruangan, beliau terlihat sudah akrab dengan Aji.
Orang tua tunggalku itu terlihat banyak
bertukar kata dengan Aji sebelum wajahnya menoleh ke arahku, mata melotot siap
menghajarku dengan rentetan omelan.
Responku hanyalah helaan napas
berat. Sudah kuketahui
akan begini akhirnya. Dari belakang pundak Ibu, aku
bisa melihat Aji cekikikan, memberi isyarat dengan tangannya kalau ia akan
menunggu di luar.
***
Aku sembuh cepat—mungkin karena sadar
aku tak punya banyak uang untuk bersantai-santai kelamaan di institusi bisnis
kesehatan itu. Selepas keluar dari rumah sakit, aku sengaja pergi menjemput
adikku les bahasa Inggris lagi. Harapanku bisa bertemu Aji, tetapi di simpang
jalan itu hanya ada teman-temannya. Mereka mengenalku, apalagi sepedaku. Tak heranlah aku ketika mereka
berjalan menghampiri dan
mengajakku duduk-duduk sambil menunggu jam les usai.
“Siapa namamu, Jang? Dari kemarin Aji cuma bilang ‘Bujang’ dan ‘Bujang’ terus tiap kali bahas namamu,” tanya Bang Upet—tingginya memang minimalis, tetapi suaranya paling besar di antara
lima anak tongkrongan yang lain.
“Arif, Bang,” jawabku,
“salam kenal semua.”
“Tapi memang dia paling ‘bujang’ di
antara kita semua, Bang!” Rambo, yang tubuhnya paling bongsor padahal baru
lulus SMU, menepuk bahu Bang Upet sambil tertawa-tawa. “Kau sekarang sudah jadi
bagian dari kita, Jang. Selamat datang. Nanti biar diospek kau sama si Aji itu.
Pahami jalan sedikit biar nggak nyusruk lagi.
Politik Indonesia sudah runyam, mukamu jangan ikut-ikutan!”
Aku ikut terkekeh meski agak nyeri
membayangkan buruknya wajahku saat kejadian naas Senin lalu itu. Pembawaanku memang agak canggung
dan tidak seluwes Aji yang di pertemuan pertama
saja sudah bisa klop dengan ibuku. Mungkin sebab inilah tujuanku terbaca. Bang
Upet terlihat mulai ingin mengorek-ngorek.
“Adikmu memang les setiap Senin ‘kah?
Tak sering aku lihat kau keliaran di sini. Jarang jemput adik, ya?”
Mengingat kondisi keluargaku yang memang pincang
semenjak Bapak tak ada,
aku hanya tersenyum kecut. “Begitulah. Dulu Bapak yang selalu menyempatkan
jemput dia, tapi sudah nggak ada.”
Hening sebentar.
“Ini
rupanya yang bikin Aji ngotot
kemarin,” tukas Rambo. Aku mengerut kening. “Ngotot apa?”
“Bayarin rumah sakitmu itu, Jang,” kali ini yang menjawab adalah Ahlil, bocah yang tingginya hanya beda beberapa
dari Rambo dan punya tato singa besar di lengannya, “Aji memang orang baik,
tapi bahkan dia sampe ngorek tabungan cuma buat kau. Aku pun terbingung-bingung
karenanya.”
Kalau
ini adalah dunia kartun, mungkin
di atas kepalaku
sudah ada tanda
tanya besar melayang-layang. Ada apa, sih?
Walau di satu sisi aku mau sujud
syukur dan berterima kasih sampai berbusa- busa karena biaya rumah sakit itu pasti tidak sedikit, tetapi
tetap ada skeptisisme dalam diriku. Aji tidak pernah mengenalku, tidak pernah tahu namaku, dan kami tidak pernah
bertukar pandang sedikitpun sebelumnya. Aku hanya anak malang yang kecelakan di
hari Senin hujan.
“Katanya ia pernah utang juga sama
bapakmu, Jang,” Rambo menjawab bingungku, “tapi aku pun tak ngerti bagaimana.
Selama ini bapakmu selalu ikhlas bantu-bantu kami di jalan. Kau tanya sendiri
sama dia. Kalau kita sendiri betul-betul senang bisa bantu kau sembuh. Daripada
mukamu renyek.”
Aku meringis. “Makasih, semua. Maaf belum bisa ganti dengan
uang lagi.”
“Heh,
kita ikhlas!” seru Bang Upet. “Kami emang cuma anak jalanan, tapi duit
kami banyak!”
Deja vu. Beberapa hari yang lalu, di depan kasur rawat
inapku, Aji juga berkata
demikian.
Bukan hanya
uang, mungkin ada lebih banyak
hal yang tersimpan bersama anak jalanan
di simpang itu.
***
“Orang kayak Gus Dur itu harus dilestarikan,
nggak repot, nggak urus sama yang remeh-temeh,”
Ternyata, kalau sedang tidak di simpang
jalan, Aji biasanya
melakukan aksi di tempat-tempat yang strategis demi
membela kebenaran. Waktu itu aku
masih SMP, masih banyak ketidaktahuanku terkait lapisan kebenaran di dunia
ini—terutama yang ada di politik Indonesia dan dibahas-bahas terus oleh Aji
saban hari bertemu. Aji berkata, ia belajar banyak setelah bertemu Bapak.
Bapakku ternyata dulu sering menyantuni anak-anak jalanan itu, termasuk Aji.
Dari cerita-cerita Bapak-lah Aji diperkenalkan dengan cakrawala dunia yang
penuh dengan strata konflik.
Bapak adalah peselancar, kata Aji. Dia
berselancar di laut bernama kebaikan dan sudah sepatutnya ombak yang hadir
dengan dua nama—namaku dan nama adikku—dijaga dengan baik supaya papannya tetap
seimbang.
Dia
memang tidak beres SMU, tetapi
aku yakin otak kanan Aji adalah nirwana artistik yang dipenuhi luapan
diksi cerdas. Karya-karyanya beberapa kali mejeng
di surat kabar dan aksi protesnya selalu disertai dengan seni: Aji sering nyaru jadi orator, penulis naskah teater, atau bahkan
penari kontemporer yang mulutnya sering ngucap-
ngucap mantra. Yang begini pasti diasah jam terbang dan aku percaya bahkan
tidak semua anak SMU bisa melakukannya.
Aku,
yang masih planga-plongo dan
naif, waktu itu dicekoki banyak
pemikiran progresifnya yang menuntut kenormalan: kebenaran, kebenaran, dan kebenaran.
Sebab, menurut Aji, kondisi kita semua sekarang ini adalah anomali. Kebebasan
bisa saja direnggut kapanpun dan masih ada pertanyaan yang belum dimekarkan
jawaban. Orang-orang harus diingatkan agar yang ‘98 kemarin tak terulang.
“Aku ini Tionghoa, Jang. Punya nama
asing. Bapak-ibuku lari ke Singapura karena
minim nyali. Bertato.
Tidak sembahyang kayak
kalian di surau. Tapi aku hadir
di sini. Tapi aku punya
logat dan berliuk-liuk dengan bahasa Indonesia
sejak lahir.” Aji membusungkan dadanya. “Aku capek
dikata Tionghoa terus padahal awakku
kulitnya gampang terbakar juga kayak kalian dan bicaraku nggak ada
mandarin-mandarinnya. Harusnya, aku Indonesia
Raya.”
Aku pernah membaca satu tulisan Aji
yang berjudul Indonesia itu Tak Punya Bapak. Dia bilang dia menulis itu di
Senin saat aku kecelakaan—sebuah kebetulan yang aneh.
Indonesia itu tak punya bapak,
lelaki sudah banyak tumbang tapi salah bak.
Indonesia itu tak punya bapak,
mereka sudah lama dibiarkan terlilit akar cerita-cerita.
Indonesia itu tak punya bapak,
yang kadung itu bukan bapak bagi ibu kita.
Indonesia
itu tak punya bapak, tapi kita juga bukan binatang jalang.
Kata
Aji, puisi ini memang agak lebih jelek
dari biasanya, tetapi
paling dahsyat dalam
menendang. Hal tersebut terbukti karena enam hari setelah tulisan itu terbit di
surat kabar kota, dia dipanggil untuk menghadap pemerintah bersama pihak
redaksi. Dia bilang dia juga menyisipkan gambar ngocol di pinggir puisinya.
Pantas tempo hari aku tidak menemukannya di simpang
jalan.
Entah apa yang terjadi di balik gedung besar tempat ia diadu itu. Yang jelas, kata Ahil, Aji pulang dengan lebam dan mata bengkak. Apakah hanya perkara satu puisi atau kelakar-kelakarnya di masa lampau, tidak ada yang berani cari tahu.
Sekarang ini adalah hari pembalasannya. Secara
eksklusif, Aji memanggilku ke tempatnya aksi demonstrasi dan memberikan tempat duduk
paling depan. Aji berhadapan langsung dengan ban yang dibakar dan teriakan
orator yang membakar semangat antek-anteknya. Di depanku kini ada gedung
pemerintahan yang nampak tiada berharga diri ketika disandingkan dengan lautan manusia
di balik pagarnya.
Dari mana Aji dapat massa sebanyak ini?
“Kamu adalah Indonesia juga, Jang!”
seru Aji di antara seruan demonstran. “Soalnya kamu juga nggak punya bapak!”
Euforia mulai menyesap ke nadiku sesaat
sang orator berteriak soal kebebasan harga
mati. Mata Aji berkilat-kilat, seolah ini memang yang ia tunggu-tunggu.
“Kita yang
Indonesia, Ji! Ayo kita kembaliin
semua ini buat orang kayak kamu
juga. Tionghoa pasti dipanggil balik!”
Aji tersenyum puas mendengar kata-kataku. “Kita memang anak muda yang
cuma punya
suara.
Tapi, kita anak muda yang punya suara!”
Setelah seruan itu, aku menyaksikan
Aji menjelma peselancar di antara manusia. Ah, bukan.
Dia bukan bapakku.
Kalau harus aku bandingkan dengan
sesuatu, mungkin Aji laksana mercusuar sekarang. Aku tidak tahu kapan
dan siapa yang mendirikannya—eksistensinya ada begitu saja, dan semua orang
tidak banyak mempertanyakan. Sinarnya bising di tengah gelap, memecah atmosfer
dengan sedikit banyak hangat yang dipancarkan.
Lalu, ketika ia bergantian menyerukan
orasi dan memantik semangat orang untuk menyadari Indonesia Raya-nya tengah
terancam, dia jadi mercusuar paling terang dari tujuh samudra.
Mungkin, Aji cuma anak jalanan. Mungkin, Aji cuma
anak Tionghoa yang berhati luas. Namun, Aji bukan cuma Indonesia Raya.
Senin di pertengahan September itu
ibarat pencerahan. Kalau dipikir-pikir, mercusuar itu tidak boleh hilang. Aji
tidak boleh redup.
Sehabis terang mercusuar membasahi
tubuhku saat aksi demonstrasi hari itu, Senin menjadi spesial bagi seorang Arif
dan juga anak-anak jalanan lainnya. Ketambahan
anak satu, begitu tutur Bang Upet dengan semangat, disusul dengan siulan
Aji yang mengindikasikan ‘selamat datang’.
***
Ibuku bilang beliau suka ketika
aku bergaul dengan Aji.
Kamu jadi punya
hobi, demikian katanya.
Beliau juga senang tak keruan ketika tahu Aji dan
anak-anak di simpang jalan itu adalah pihak yang selama ini Bapak santuni
sepanjang umurnya. Tiap Senin dia selalu
kalau ndak beli makan, ya beli buku-buku buat kalian itu, imbuhnya.
Lucu
sekali. Ada banyak Senin yang tumpang tindih
di antara kita. Namun, datanglah Senin itu.
Dua
Senin pertama dihantui teror: di
mana tongkrongan anak
jalanan simpang jalan tiba-tiba disambangi pria-pria berseragam tak dikenal. Mereka ditanya-tanya soal Aji Wijaya, berulang kali,
terus-menerus, bahkan kalau tidak kunjung disahuti mungkin bisa berbusa
mulutnya ia. Sepanjang Senin teror itu juga aku kerap dikode- kode oleh Bang
Upet dan Rambo untuk tidak belok ke tongkrongan,
meski sepedaku seperti ingin mencari perhatian saja dengan nyusruk di depan mereka.
Pada Senin ketiga, pria berseragam itu
datang lagi, kali ini dengan pentungan. Aku ingat hari itu Aji ada aksi, jadi
memang tidak diam di simpang jalan. Namun, wajah anak-anak jalanan mulai ketakutan ketika pria-pria tersebut
menggertak dengan seenaknya
mementung barang di sekitar. Kalau-kalau salah bicara, mungkin kepala mereka
yang melesat.
“Bapak-bapak!
Cari siapa?!”
Meski lebih mirip pahlawan kesiangan,
kuturunkan tubuh cungkring-ku dari
sepeda dan menuntunnya mendekati pria-pria itu.
“Di
sini ruko yang banyak anak kecil les, lho, Pak. Tiap Senin saya lihat marah-
marah terus adanya,”
kubuat mataku semelotot-melototnya, mirip Ibu
kalau mengomeli Adik, “jadi nggak ramah untuk belajar di area ini!
Kalau harga sewanya turun emang bapak-bapak sekalian bisa tanggung jawab?”
“Sok berani sekali, kamu bagian dari
mereka, ‘kan?!” hardik salah satu dari mereka.
Aku cengengesan. “Pak, saya masih punya sepeda, dan ini baru mau jemput
Adik di tempat les. Keluarga saya masih berkecukupan, mbok liat penampilan saya nggak lusuh kayak mereka!” seruku.
“Karena itu mungkin mereka juga berkeliaran di sini, Pak. Simpang jalan ini dekat banyak institusi belajar. Ada bimbel,
ada tempat les bahasa—dua biji malah, Pak! Mereka
mungkin mau curi-curi belajar juga. Kenapa dituduh sambil dimarah-marahi terus
saban Senin?!”
“Orang luar tidak perlu ikut campur!”
“Kalau begitu Bapak juga tidak usah
ikut campur perkara kenyamanan lingkungan sini, sana gelut di tempat lain! Tengah jalan sekalian!” hardikku, lagi. Entah dari
mana keberanian ini tiba-tiba muncul. “Om saya Atase dan saya bisa kapan saja
mengadu kalau kenyamanan adik saya terganggu di tempat ini. Mau belajar tapi
liat orang berantem, bukannya itu contoh buruk bagi penerus bangsa?”
Diam.
Tidak pernah, sejak dua Senin yang lalu, simpang jalan sehening itu.
Aku
memang tidak bohong punya paman yang bergelar
diplomat ahli pertama. Yang menjadikan kalimat barusan
kebohongan adalah aku tidak akan pernah berani memencet tuts ponselku untuk
menghubungi beliau karena hal remeh-temeh.
Mesin-mesin kecil di balik kepala
mereka nampaknya sudah menemukan jawaban. Karena begitu aku mau buka mulut
lagi, pria-pria itu akhirnya saling kode kepada satu sama lain untuk meninggalkan tempat. Sampai mereka
masih terlihat
punggungnya,
aku tetap pura-pura asing. Sesaat bayangan mereka sudah hilang dari
penglihatan, buru-buru kupeluk semua anak jalanan itu yang tubuhnya bergetar.
“Maaf aku mengatai
kalian. Kalian aman. Kabari
Aji saja kalau ada apa-apa,”
“Aji
juga semakin bermasalah, Rif,” celetuk Ahlil, “sudah dua hari ini dia tidak pulang ke tempat kami. Melapor
polisi juga percuma, orang kayak barusan.”
Aku termenung, tak tahu harus
melakukan apa. Aku benci
tidak bisa melakukan apa-apa.
***
Setelahnya
adalah Senin terakhir
aku berjumpa dengan Aji.
Aku tidak tahu apa yang dilakukannya
sampai polisi sebenci itu dengan dia. Akan tetapi, Aji sampai ke simpang jalan
dengan senyum tolol seperti biasa. Seolah dia
tidak baru menghilang semingguan. Ahlil dan Rambo yang jangkung-jangkung itu berlari mengepung dia, mengharu biru
karena khawatir nian terkait kabarnya.
“Aku baru pulang dari mencari
kebenaran,” Tuhan, cengiran-nya kelewat tengil, “dan kalian tahu? Bapak dan
ibuku dipanggil pulang sama Gus Dur!”
Lonjakan kurang tepat menjelaskan
situasi usai kalimat tersebut terucap— sebab semua orang langsung berseru penuh
suka cita, memenuhi simpang jalan di Senin itu dengan kebahagiaan. Aku pun
samanya. Meski masih bertanya-tanya, fakta bahwa Aji dan teman-teman lain
berkemungkinan punya orang tua kembali itu luar biasa.
Setelah riuh mereda dan semua kembali
pada obrolan masing-masing, Aji menarikku agak ke pinggir.
“Terima kasih tempo hari sudah berani
menghadap para cecunguk
berseragam itu,” ujar Aji, senyumnya tipis—seperti ada keraguan.
“Sudah selantasnya
aku melakukan itu. Kalian juga pernah menolongku.”
“Tapi
jujur, Jang. Aku tak suka caramu,” Aji menepuk kepalaku, lalu mengusak rambut sampai
berantakan. “Menggunakan kenalan,
apalagi yang dalam
pemerintahan, itu pengecut. Sama saja kelakuanmu kayak bayi-bayi
nepotisme dalam gedung pemerintahan di ‘98 lalu.”
Aku memang tahu di mana letak salahku.
Bagi beberapa orang, mungkin ini bisa saja membuka luka lama dan menunjukkan
sebuah ketimpangan sosial di antara masyarakat Indonesia. Sok jagoan sekali
aku, padahal nyatanya aku luar biasa takut tidak bisa melakukan apa-apa bagi
mereka-
“Tapi nggak apa-apa, Jang. Yang lalu biarlah berlalu. Siapkan saja dirimu jika nanti ada konsekuensi
yang harus diemban,” Aji tidak berhenti mengusak-ngusak kepalaku. “Nanti kalau kita bertemu lagi, akan kujelaskan tentang cara mengumpulkan massa sambil me-nyetting agenda. Usahakan kebenaranmu
dengan cara yang benar, Jang.”
***
Hari
Senin seringnya menjadi
momok bagi banyak
golongan: hari di mana kita sudah mulai bekerja lagi setelah
libur, berkutat dengan kemacetan lagi, berhadapan dengan bos-bos kita lagi,
dan masih banyak
hal-hal yang membuat
Senin menjadi hari yang tidak disukai banyak orang.
Bagiku sendiri, Senin adalah hantu.
Tidak pernah lagi kuhitung lagi keberadaannya, terutama sejak ada janji yang
menggantung di tahun 2001 itu. Mercusuar yang seharusnya terang benderang
memoles permukaan kilau laut malam telah hilang. Begitu
saja, tanpa badai,
tanpa cuaca buruk.
Yang tersisa hanyalah
camar- camar kebingungan, datang dengan rumor apa pun yang terjadi di
hari itu, dengan tak ada satu pun yang bisa menyelesaikannya.
“Dia mati,”
“Tionghoa sudah terlalu banyak memakan lahan kami,” “Orang tuanya balik tapi dia melarikan diri,”
“Tukang curi,
sih. Masa anak jalanan punya
banyak duit,” “Radikalis,”
“Anak nggak lulus sekolah aja belagu,”
Aku
dibiarkan dalam kegelapan bertahun-tahun setelah Aji lenyap bagai
ditelan malam. Barangkali ia adalah sebuah dongeng yang ceritanya akan
berubah tiap disampaikan dari mulut ke mulut. Anak jalanan
pun mungkin hanya sekumpulan bocah yang tak mau dewasa. Lama-lama, Aji
lebih seperti Peter Pan atau Robin. Tidak ada yang tahu kejelasan soal
keberadaannya, seolah ada tapi tiada, tiada tapi ada.
Namun, itulah yang sempat
dirasakan negara ini beberapa tahun silam. Tokoh- tokoh yang berjuang demi kebebasan
negara ini boleh saja dibilang dongeng, tetapi mereka ada untuk menyentil
kita—memberikan pelajaran kepada pihak-pihak yang kita bacakan ceritanya.
Merekalah pemuda-pemudi yang menjadi inspirasi banyak orang.
Aji, beberapa tahun kemudian,
bergabung pada karakter-karakter dongeng itu dan akan hidup dalam pikiran orang
sebagai hikmah—pada kita semua. Hari ini, aku bisa melihat banyak orang-orang
Tionghoa beribadah. Hari ini, aku bisa melihat banyak dari mereka yang
minoritas bergotong royong dengan orang lainnya.
Senin akan selalu berbeda tanpa dia.
Indonesia tidak butuh lebih banyak tokoh yang dijadikan dongeng. Ini Indonesia Raya, bukan?
Aku
pun tidak berminat
menjadi salah satunya.
Akan kucari kebenaran itu dan bertahan
bersamanya. Aku tidak boleh kalah.
Merdekalah, Senin.
0 Komentar