Breaking News

Hari Senin

Zahra Shaffa Kamila


Aku berhenti menghitung Senin semenjak kemalangan itu terjadi di simpang jalan.

Persetan kepada semua pemilik mobil, motor, sepeda, trailer, bus, tronton, atau apapun yang ramai mengepung jalanan tersebut setiap Senin paginya—seolah hidup tetap baik-baik saja, seolah hari Senin itu tidak pernah ada bedanya dengan Senin yang kemarin. Anugerah yang dikejar para pengais rezeki di hari Senin tidak lagi sebegitunya menggiurkan bagiku. Senin adalah malapetaka, Senin adalah hari yang paling kubenci sepanjang masa.

Waktu itu tengah hujan deras di Senin penghujung Agustus tahun 1999. Dinamo sepedaku panas karena rodanya dikayuh seharian dari desa sebelah. Sore itu, adikku minta dijemput setelah lelah tergempur materi les bahasa Inggris. Karena Ibu lagi-lagi harus lembur hingga subuh, siapa lagi yang bisa mengamini?

Kulewati simpang jalan itu dengan basah kuyup. Aspal yang bolong-bolong akibat minimnya peremajaan memang sudah biasa menampung kubangan air bercampur debu. Namun, hari itu mungkin memang aku yang sengaja dipermainkan oleh Dewi Fortuna—terperosoklah ban depan sepedaku itu ke lubang yang cukup dalam saat tiba di simpang jalan. Aku jatuh, kepala duluan dan jackpot masuk ke kubangan air yang segera menghitamkan wajah.

Aku sudah lupa berapa sumpah serapah yang berdisko di dalam hati. Yang kuingat jelas justru dua buah tangan cekal yang segera menarikku dari aspal—badanku sempat mengambang, lalu dipapahnya aku ke bawah kanopi warung yang melindungi kami dari guyuran rinai galak.

Jang, masih bisa napaskah kau?” Suara itu sayup-sayup terdengar di antara pengangnya telingaku, nadanya panik.

Aku tidak tahu kenapa kepalaku sakit, aku tidak tahu kenapa orang itu memanggilku Jang, dan aku pun tak tahu kenapa semua orang di sekitarku terdengar panik. Semuanya mengabur di mataku. Waktu itu, aku sudah yakin akan menyeberang ke dunia lain kalau tidak ada yang menyenggol sikutku. Demi Tuhan, efeknya begitu luar biasa menyengat seolah-olah aku disetrum listrik lebih dari seratus lima puluh ribu Volt. Dahiku berkerut dan yang bisa keluar dari mulutku hanyalah erangan parau. Di situlah aku sadar kalau aku tidak baik-baik saja.

“Tidak bisa merespon baik rupanya Bujang ini. Rambo, panggilkan ambulans!”

 

***

 

Aku tidak punya Bapak. Maka, ketika aku terbangun di rumah sakit setelah kejadian naas di simpang jalan itu, paru-paruku gelagapan. Kemalangan apa yang sampai harus memaksaku terseret ke fasilitas sarat kemewahan? Sial!

Adalah seorang pria jangkung bertato yang pertama kali menyapaku saat membuka mata. Ia mengenalkan diri sebagai Aji, dan dia bilang dia banyak berdoa pada Tuhan agar aku bisa bangun walau tak percaya konsep keagamaannya.

Aku, yang masih bocah SMP waktu itu, hanya menganga bingung. Sejauh itukah dia bertindak demi aku?

“Tenang, Jang. Kami telah temukan keluargamu dan uang perawatan sudah ditanggung,” terlepas dari tampilannya yang urakan, Aji bicara dengan bahasa yang baku, “kami memang cuma anak jalanan, tapi duit kami banyak!”

Setelah bicara lebih lanjut, ternyata Aji hanya empat tahun lebih tua dariku. Sayang, katanya dia belum sempat beres sekolah sewaktu SMU. Itu sebabnya Aji enggan dipanggil dengan sematan “kakak” atau apapun dalam spektrumnya—dia egaliter. Tipikal anak tongkrongan, dia bisa cepat mengubah pembawaannya jadi asyik bagi semua orang. Saat ibuku masuk ruangan, beliau terlihat sudah akrab dengan Aji.


Orang tua tunggalku itu terlihat banyak bertukar kata dengan Aji sebelum wajahnya menoleh ke arahku, mata melotot siap menghajarku dengan rentetan omelan.

Responku hanyalah helaan napas berat. Sudah kuketahui akan begini akhirnya. Dari belakang pundak Ibu, aku bisa melihat Aji cekikikan, memberi isyarat dengan tangannya kalau ia akan menunggu di luar.

***

 

Aku sembuh cepat—mungkin karena sadar aku tak punya banyak uang untuk bersantai-santai kelamaan di institusi bisnis kesehatan itu. Selepas keluar dari rumah sakit, aku sengaja pergi menjemput adikku les bahasa Inggris lagi. Harapanku bisa bertemu Aji, tetapi di simpang jalan itu hanya ada teman-temannya. Mereka mengenalku, apalagi sepedaku. Tak heranlah aku ketika mereka berjalan menghampiri dan mengajakku duduk-duduk sambil menunggu jam les usai.

“Siapa namamu, Jang? Dari kemarin Aji cuma bilang ‘Bujang’ dan ‘Bujang’ terus tiap kali bahas namamu,” tanya Bang Upet—tingginya memang minimalis, tetapi suaranya paling besar di antara lima anak tongkrongan yang lain.

“Arif, Bang,” jawabku, “salam kenal semua.”

 

“Tapi memang dia paling ‘bujang’ di antara kita semua, Bang!” Rambo, yang tubuhnya paling bongsor padahal baru lulus SMU, menepuk bahu Bang Upet sambil tertawa-tawa. “Kau sekarang sudah jadi bagian dari kita, Jang. Selamat datang. Nanti biar diospek kau sama si Aji itu. Pahami jalan sedikit biar nggak nyusruk lagi. Politik Indonesia sudah runyam, mukamu jangan ikut-ikutan!”

Aku ikut terkekeh meski agak nyeri membayangkan buruknya wajahku saat kejadian naas Senin lalu itu. Pembawaanku memang agak canggung dan tidak seluwes Aji yang di pertemuan pertama saja sudah bisa klop dengan ibuku. Mungkin sebab inilah tujuanku terbaca. Bang Upet terlihat mulai ingin mengorek-ngorek.

“Adikmu memang les setiap Senin ‘kah? Tak sering aku lihat kau keliaran di sini. Jarang jemput adik, ya?”


Mengingat kondisi keluargaku yang memang pincang semenjak Bapak tak ada, aku hanya tersenyum kecut. “Begitulah. Dulu Bapak yang selalu menyempatkan jemput dia, tapi sudah nggak ada.”

Hening sebentar.

 

“Ini rupanya yang bikin Aji ngotot kemarin,” tukas Rambo. Aku mengerut kening. “Ngotot apa?”

“Bayarin rumah sakitmu itu, Jang,” kali ini yang menjawab adalah Ahlil, bocah yang tingginya hanya beda beberapa dari Rambo dan punya tato singa besar di lengannya, “Aji memang orang baik, tapi bahkan dia sampe ngorek tabungan cuma buat kau. Aku pun terbingung-bingung karenanya.”

Kalau ini adalah dunia kartun, mungkin di atas kepalaku sudah ada tanda tanya besar melayang-layang. Ada apa, sih?

Walau di satu sisi aku mau sujud syukur dan berterima kasih sampai berbusa- busa karena biaya rumah sakit itu pasti tidak sedikit, tetapi tetap ada skeptisisme dalam diriku. Aji tidak pernah mengenalku, tidak pernah tahu namaku, dan kami tidak pernah bertukar pandang sedikitpun sebelumnya. Aku hanya anak malang yang kecelakan di hari Senin hujan.

“Katanya ia pernah utang juga sama bapakmu, Jang,” Rambo menjawab bingungku, “tapi aku pun tak ngerti bagaimana. Selama ini bapakmu selalu ikhlas bantu-bantu kami di jalan. Kau tanya sendiri sama dia. Kalau kita sendiri betul-betul senang bisa bantu kau sembuh. Daripada mukamu renyek.”

Aku meringis. “Makasih, semua. Maaf belum bisa ganti dengan uang lagi.”

 

“Heh, kita ikhlas!” seru Bang Upet. “Kami emang cuma anak jalanan, tapi duit kami banyak!”

Deja vu. Beberapa hari yang lalu, di depan kasur rawat inapku, Aji juga berkata demikian.


Bukan hanya uang, mungkin ada lebih banyak hal yang tersimpan bersama anak jalanan di simpang itu.

***

 

“Orang kayak Gus Dur itu harus dilestarikan, nggak repot, nggak urus sama yang remeh-temeh,”

Ternyata, kalau sedang tidak di simpang jalan, Aji biasanya melakukan aksi di tempat-tempat yang strategis demi membela kebenaran. Waktu itu aku masih SMP, masih banyak ketidaktahuanku terkait lapisan kebenaran di dunia ini—terutama yang ada di politik Indonesia dan dibahas-bahas terus oleh Aji saban hari bertemu. Aji berkata, ia belajar banyak setelah bertemu Bapak. Bapakku ternyata dulu sering menyantuni anak-anak jalanan itu, termasuk Aji. Dari cerita-cerita Bapak-lah Aji diperkenalkan dengan cakrawala dunia yang penuh dengan strata konflik.

Bapak adalah peselancar, kata Aji. Dia berselancar di laut bernama kebaikan dan sudah sepatutnya ombak yang hadir dengan dua nama—namaku dan nama adikku—dijaga dengan baik supaya papannya tetap seimbang.

Dia memang tidak beres SMU, tetapi aku yakin otak kanan Aji adalah nirwana artistik yang dipenuhi luapan diksi cerdas. Karya-karyanya beberapa kali mejeng di surat kabar dan aksi protesnya selalu disertai dengan seni: Aji sering nyaru jadi orator, penulis naskah teater, atau bahkan penari kontemporer yang mulutnya sering ngucap- ngucap mantra. Yang begini pasti diasah jam terbang dan aku percaya bahkan tidak semua anak SMU bisa melakukannya.

Aku, yang masih planga-plongo dan naif, waktu itu dicekoki banyak pemikiran progresifnya yang menuntut kenormalan: kebenaran, kebenaran, dan kebenaran. Sebab, menurut Aji, kondisi kita semua sekarang ini adalah anomali. Kebebasan bisa saja direnggut kapanpun dan masih ada pertanyaan yang belum dimekarkan jawaban. Orang-orang harus diingatkan agar yang ‘98 kemarin tak terulang.


“Aku ini Tionghoa, Jang. Punya nama asing. Bapak-ibuku lari ke Singapura karena minim nyali. Bertato. Tidak sembahyang kayak kalian di surau. Tapi aku hadir di sini. Tapi aku punya logat dan berliuk-liuk dengan bahasa Indonesia sejak lahir.” Aji membusungkan dadanya. “Aku capek dikata Tionghoa terus padahal awakku kulitnya gampang terbakar juga kayak kalian dan bicaraku nggak ada mandarin-mandarinnya. Harusnya, aku Indonesia Raya.”

Aku pernah membaca satu tulisan Aji yang berjudul Indonesia itu Tak Punya Bapak. Dia bilang dia menulis itu di Senin saat aku kecelakaan—sebuah kebetulan yang aneh.

Indonesia itu tak punya bapak,

lelaki sudah banyak tumbang tapi salah bak.

Indonesia itu tak punya bapak,

mereka sudah lama dibiarkan terlilit akar cerita-cerita.

Indonesia itu tak punya bapak,

yang kadung itu bukan bapak bagi ibu kita.

Indonesia itu tak punya bapak, tapi kita juga bukan binatang jalang.

Kata Aji, puisi ini memang agak lebih jelek dari biasanya, tetapi paling dahsyat dalam menendang. Hal tersebut terbukti karena enam hari setelah tulisan itu terbit di surat kabar kota, dia dipanggil untuk menghadap pemerintah bersama pihak redaksi. Dia bilang dia juga menyisipkan gambar ngocol di pinggir puisinya. Pantas tempo hari aku tidak menemukannya di simpang jalan.

Entah apa yang terjadi di balik gedung besar tempat ia diadu itu. Yang jelas, kata Ahil, Aji pulang dengan lebam dan mata bengkak. Apakah hanya perkara satu puisi atau kelakar-kelakarnya di masa lampau, tidak ada yang berani cari tahu.

Sekarang ini adalah hari pembalasannya. Secara eksklusif, Aji memanggilku ke tempatnya aksi demonstrasi dan memberikan tempat duduk paling depan. Aji berhadapan langsung dengan ban yang dibakar dan teriakan orator yang membakar semangat antek-anteknya. Di depanku kini ada gedung pemerintahan yang nampak tiada berharga diri ketika disandingkan dengan lautan manusia di balik pagarnya. Dari mana Aji dapat massa sebanyak ini?

“Kamu adalah Indonesia juga, Jang!” seru Aji di antara seruan demonstran. “Soalnya kamu juga nggak punya bapak!”

Euforia mulai menyesap ke nadiku sesaat sang orator berteriak soal kebebasan harga mati. Mata Aji berkilat-kilat, seolah ini memang yang ia tunggu-tunggu.

Kita yang Indonesia, Ji! Ayo kita kembaliin semua ini buat orang kayak kamu juga. Tionghoa pasti dipanggil balik!”

Aji tersenyum puas mendengar kata-kataku. “Kita memang anak muda yang

cuma punya suara. Tapi, kita anak muda yang punya suara!”

 

Setelah seruan itu, aku menyaksikan Aji menjelma peselancar di antara manusia. Ah, bukan. Dia bukan bapakku. Kalau harus aku bandingkan dengan sesuatu, mungkin Aji laksana mercusuar sekarang. Aku tidak tahu kapan dan siapa yang mendirikannya—eksistensinya ada begitu saja, dan semua orang tidak banyak mempertanyakan. Sinarnya bising di tengah gelap, memecah atmosfer dengan sedikit banyak hangat yang dipancarkan.

Lalu, ketika ia bergantian menyerukan orasi dan memantik semangat orang untuk menyadari Indonesia Raya-nya tengah terancam, dia jadi mercusuar paling terang dari tujuh samudra.

Mungkin, Aji cuma anak jalanan. Mungkin, Aji cuma anak Tionghoa yang berhati luas. Namun, Aji bukan cuma Indonesia Raya.

Senin di pertengahan September itu ibarat pencerahan. Kalau dipikir-pikir, mercusuar itu tidak boleh hilang. Aji tidak boleh redup.


Sehabis terang mercusuar membasahi tubuhku saat aksi demonstrasi hari itu, Senin menjadi spesial bagi seorang Arif dan juga anak-anak jalanan lainnya. Ketambahan anak satu, begitu tutur Bang Upet dengan semangat, disusul dengan siulan Aji yang mengindikasikan ‘selamat datang’.

***

 

Ibuku bilang beliau suka ketika aku bergaul dengan Aji.

 

Kamu jadi punya hobi, demikian katanya.


Beliau juga senang tak keruan ketika tahu Aji dan anak-anak di simpang jalan itu adalah pihak yang selama ini Bapak santuni sepanjang umurnya. Tiap Senin dia selalu kalau ndak beli makan, ya beli buku-buku buat kalian itu, imbuhnya.

Lucu sekali. Ada banyak Senin yang tumpang tindih di antara kita. Namun, datanglah Senin itu.

Dua Senin pertama dihantui teror: di mana tongkrongan anak jalanan simpang jalan tiba-tiba disambangi pria-pria berseragam tak dikenal. Mereka ditanya-tanya soal Aji Wijaya, berulang kali, terus-menerus, bahkan kalau tidak kunjung disahuti mungkin bisa berbusa mulutnya ia. Sepanjang Senin teror itu juga aku kerap dikode- kode oleh Bang Upet dan Rambo untuk tidak belok ke tongkrongan, meski sepedaku seperti ingin mencari perhatian saja dengan nyusruk di depan mereka.

Pada Senin ketiga, pria berseragam itu datang lagi, kali ini dengan pentungan. Aku ingat hari itu Aji ada aksi, jadi memang tidak diam di simpang jalan. Namun, wajah anak-anak jalanan mulai ketakutan ketika pria-pria tersebut menggertak dengan seenaknya mementung barang di sekitar. Kalau-kalau salah bicara, mungkin kepala mereka yang melesat.

“Bapak-bapak! Cari siapa?!”

 

Meski lebih mirip pahlawan kesiangan, kuturunkan tubuh cungkring-ku dari sepeda dan menuntunnya mendekati pria-pria itu.


“Di sini ruko yang banyak anak kecil les, lho, Pak. Tiap Senin saya lihat marah- marah terus adanya,” kubuat mataku semelotot-melototnya, mirip Ibu kalau mengomeli Adik, “jadi nggak ramah untuk belajar di area ini! Kalau harga sewanya turun emang bapak-bapak sekalian bisa tanggung jawab?”

“Sok berani sekali, kamu bagian dari mereka, ‘kan?!” hardik salah satu dari mereka.

Aku cengengesan. “Pak, saya masih punya sepeda, dan ini baru mau jemput Adik di tempat les. Keluarga saya masih berkecukupan, mbok liat penampilan saya nggak lusuh kayak mereka!” seruku. “Karena itu mungkin mereka juga berkeliaran di sini, Pak. Simpang jalan ini dekat banyak institusi belajar. Ada bimbel, ada tempat les bahasa—dua biji malah, Pak! Mereka mungkin mau curi-curi belajar juga. Kenapa dituduh sambil dimarah-marahi terus saban Senin?!”

“Orang luar tidak perlu ikut campur!”

 

“Kalau begitu Bapak juga tidak usah ikut campur perkara kenyamanan lingkungan sini, sana gelut di tempat lain! Tengah jalan sekalian!” hardikku, lagi. Entah dari mana keberanian ini tiba-tiba muncul. “Om saya Atase dan saya bisa kapan saja mengadu kalau kenyamanan adik saya terganggu di tempat ini. Mau belajar tapi liat orang berantem, bukannya itu contoh buruk bagi penerus bangsa?”

Diam.

 

Tidak pernah, sejak dua Senin yang lalu, simpang jalan sehening itu.

 

Aku memang tidak bohong punya paman yang bergelar diplomat ahli pertama. Yang menjadikan kalimat barusan kebohongan adalah aku tidak akan pernah berani memencet tuts ponselku untuk menghubungi beliau karena hal remeh-temeh.

Mesin-mesin kecil di balik kepala mereka nampaknya sudah menemukan jawaban. Karena begitu aku mau buka mulut lagi, pria-pria itu akhirnya saling kode kepada satu sama lain untuk meninggalkan tempat. Sampai mereka masih terlihat


punggungnya, aku tetap pura-pura asing. Sesaat bayangan mereka sudah hilang dari penglihatan, buru-buru kupeluk semua anak jalanan itu yang tubuhnya bergetar.

“Maaf aku mengatai kalian. Kalian aman. Kabari Aji saja kalau ada apa-apa,”

 

“Aji juga semakin bermasalah, Rif,” celetuk Ahlil, “sudah dua hari ini dia tidak pulang ke tempat kami. Melapor polisi juga percuma, orang kayak barusan.”

Aku termenung, tak tahu harus melakukan apa. Aku benci tidak bisa melakukan apa-apa.

***

 

Setelahnya adalah Senin terakhir aku berjumpa dengan Aji.

 

Aku tidak tahu apa yang dilakukannya sampai polisi sebenci itu dengan dia. Akan tetapi, Aji sampai ke simpang jalan dengan senyum tolol seperti biasa. Seolah dia tidak baru menghilang semingguan. Ahlil dan Rambo yang jangkung-jangkung itu berlari mengepung dia, mengharu biru karena khawatir nian terkait kabarnya.

“Aku baru pulang dari mencari kebenaran,” Tuhan, cengiran-nya kelewat tengil, “dan kalian tahu? Bapak dan ibuku dipanggil pulang sama Gus Dur!”

Lonjakan kurang tepat menjelaskan situasi usai kalimat tersebut terucap— sebab semua orang langsung berseru penuh suka cita, memenuhi simpang jalan di Senin itu dengan kebahagiaan. Aku pun samanya. Meski masih bertanya-tanya, fakta bahwa Aji dan teman-teman lain berkemungkinan punya orang tua kembali itu luar biasa.

Setelah riuh mereda dan semua kembali pada obrolan masing-masing, Aji menarikku agak ke pinggir.

“Terima kasih tempo hari sudah berani menghadap para cecunguk berseragam itu,” ujar Aji, senyumnya tipis—seperti ada keraguan.

“Sudah selantasnya aku melakukan itu. Kalian juga pernah menolongku.”


“Tapi jujur, Jang. Aku tak suka caramu,” Aji menepuk kepalaku, lalu mengusak rambut sampai berantakan. “Menggunakan kenalan, apalagi yang dalam pemerintahan, itu pengecut. Sama saja kelakuanmu kayak bayi-bayi nepotisme dalam gedung pemerintahan di ‘98 lalu.”

Aku memang tahu di mana letak salahku. Bagi beberapa orang, mungkin ini bisa saja membuka luka lama dan menunjukkan sebuah ketimpangan sosial di antara masyarakat Indonesia. Sok jagoan sekali aku, padahal nyatanya aku luar biasa takut tidak bisa melakukan apa-apa bagi mereka-

“Tapi nggak apa-apa, Jang. Yang lalu biarlah berlalu. Siapkan saja dirimu jika nanti ada konsekuensi yang harus diemban,” Aji tidak berhenti mengusak-ngusak kepalaku. “Nanti kalau kita bertemu lagi, akan kujelaskan tentang cara mengumpulkan massa sambil me-nyetting agenda. Usahakan kebenaranmu dengan cara yang benar, Jang.”

***

 

Hari Senin seringnya menjadi momok bagi banyak golongan: hari di mana kita sudah mulai bekerja lagi setelah libur, berkutat dengan kemacetan lagi, berhadapan dengan bos-bos kita lagi, dan masih banyak hal-hal yang membuat Senin menjadi hari yang tidak disukai banyak orang.

Bagiku sendiri, Senin adalah hantu. Tidak pernah lagi kuhitung lagi keberadaannya, terutama sejak ada janji yang menggantung di tahun 2001 itu. Mercusuar yang seharusnya terang benderang memoles permukaan kilau laut malam telah hilang. Begitu saja, tanpa badai, tanpa cuaca buruk. Yang tersisa hanyalah camar- camar kebingungan, datang dengan rumor apa pun yang terjadi di hari itu, dengan tak ada satu pun yang bisa menyelesaikannya.

“Dia mati,”

“Tionghoa sudah terlalu banyak memakan lahan kami,” “Orang tuanya balik tapi dia melarikan diri,”

“Tukang curi, sih. Masa anak jalanan punya banyak duit,” “Radikalis,”

“Anak nggak lulus sekolah aja belagu,”

 

Aku dibiarkan dalam kegelapan bertahun-tahun setelah Aji lenyap bagai ditelan malam. Barangkali ia adalah sebuah dongeng yang ceritanya akan berubah tiap disampaikan dari mulut ke mulut. Anak jalanan pun mungkin hanya sekumpulan bocah yang tak mau dewasa. Lama-lama, Aji lebih seperti Peter Pan atau Robin. Tidak ada yang tahu kejelasan soal keberadaannya, seolah ada tapi tiada, tiada tapi ada.

Namun, itulah yang sempat dirasakan negara ini beberapa tahun silam. Tokoh- tokoh yang berjuang demi kebebasan negara ini boleh saja dibilang dongeng, tetapi mereka ada untuk menyentil kita—memberikan pelajaran kepada pihak-pihak yang kita bacakan ceritanya. Merekalah pemuda-pemudi yang menjadi inspirasi banyak orang.

Aji, beberapa tahun kemudian, bergabung pada karakter-karakter dongeng itu dan akan hidup dalam pikiran orang sebagai hikmah—pada kita semua. Hari ini, aku bisa melihat banyak orang-orang Tionghoa beribadah. Hari ini, aku bisa melihat banyak dari mereka yang minoritas bergotong royong dengan orang lainnya.

Senin akan selalu berbeda tanpa dia.

 

Indonesia tidak butuh lebih banyak tokoh yang dijadikan dongeng. Ini Indonesia Raya, bukan?

 

Aku pun tidak berminat menjadi salah satunya. Akan kucari kebenaran itu dan bertahan bersamanya. Aku tidak boleh kalah.

Merdekalah, Senin.

0 Komentar

© Copyright 2022 - LPM basic FMIPA UB