Breaking News

Episode Kebaikan

 

Yasmin Namira Andani


Percayalah, kebaikanmu akan terus mewangi di hati orang lain, bahkan ketika episode kehidupanmu telah usai

***

 

Suara gemuruh petir dan kencangnya angin berpadu dengan tetesan air mata yang berjatuhan di atas sebuah gundukan tanah. Tetesan air mata tersebut perlahan mulai diiringi dengan datangnya air hujan. Gerimis membasahi rambut cepak seorang pria yang tengah dirundung pilu itu.

Ia menangis dalam diam, tak peduli dengan jas putih yang basah terkena air hujan. Kepala terus ia tundukan seiring dengan doa-doa yang terucap di bibir. Bukan, ia bukan sedang menangisi kepergian orang tuanya, saudaranya, atau kekasihnya.

Kehilangan salah satu orang yang paling menginspirasi dalam hidup adalah hal yang tak pernah terpikirkan olehnya. Ia mendekat ke arah batu nisan abu-abu di ujung gundukan tanah, lantas mengusapnya perlahan, dan kembali berdoa.

“Prama, beristirahatlah. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan yang abadi.”

 

***

 

Daun-daun berwarna kecoklatan berguguran di sekitar rimbunnya pepohonan, para penyapu jalan mulai bekerja menyingkirkan dedaunan kering yang menutupi aspal. Di pagi buta ini, hanya ada segelintir manusia yang beraktivitas di luar rumah, selebihnya masih tertidur pulas di bawah selimut.


Prama, seorang pemuda berusia dua puluh tahun mengayuh sepeda hitamnya membelah jalanan sepi. Ia sesekali menyapa beberapa penyapu jalanan komplek perumahan yang sudah mengenalnya.

Pemuda berkulit putih itu memarkirkan sepeda tepat di depan pagar rumah mewah yang dihiasi air mancur serta patung-patung berwarna putih. Ia menyapa satpam rumah sebelum memasuki area pekarangan.

“Eh, Prama. Ayo, masuk. Dion sudah menunggu di dalam,” seorang wanita paruh baya membukakan pintu sambil menenteng kain pel.

“Terima kasih, Bi. Saya izin masuk, ya.”

 

Rumah mewah ini bukanlah rumah Prama, ini adalah rumah tempatnya bekerja. Ya, sudah hampir dua tahun Prama bekerja di rumah ini. Sejak memasuki bangku perkuliahan, ia membiayai dirinya sendiri untuk kebutuhan sehari-hari serta uang kuliah. Tidak ada waktu baginya untuk berleha-leha.

“Selamat pagi, Dion!” Prama memasang masker di wajah sebelum memeluk seorang anak berusia enam tahun yang sedang menggeliat di atas tempat tidur. Dion tampak baru bangun tidur, wajahnya terlihat amat menggemaskan.

“Kak Prama, Dion mau makan,” ucap anak itu sambil menunjuk piring yang telah terisi dengan jari-jari mungilnya.

Beginilah keseharian Prama sebelum dan sesudah pulang kuliah. Sebetulnya bekerja sampingan sebagai pengasuh anak bukanlah keinginannya. Namun, mencari pekerjaan memang sesulit itu, apalagi bagi seorang mahasiswa yang dianggap sulit membagi waktu. Sebelumnya ia telah melamar menjadi kasir, kurir, hingga penjaga toko, namun ternyata kebanyakan tenaga yang dibutuhkan adalah yang mampu bekerja secara penuh. Sementara dirinya harus membagi waktu dengan kuliah.

Suatu ketika, Prama ditawarkan pekerjaan oleh Putra, sahabat dekatnya yang sudah sangat mengenal kepribadian Prama. Ia menawarkan pekerjaan sebagai pengasuh anak, kebetulan omnya Putra sedang membutuhkan pengasuh laki-laki untuk anak laki-lakinya.

“Kak Prama, kenapa melamun?” suara Dion menginterupsi lamunannya, Prama kemudian terkekeh pelan dan mengusap kepala Dion.

“Dion, kalau sudah besar nanti mau jadi apa?” Prama duduk di samping anak lucu itu. Dion berpikir keras. “Mau jadi bos besar!” jawabnya dengan semangat sambil membentangkan kedua tangan.

Prama tertawa melihat tingkah Dion. “Berarti Dion harus rajin belajar, ya.

Dion harus semangat sekolah, kuliah, dan bekerja.”

 

“Tapi, Kak. Papa juga semangat kerja, Dion kan tinggal minta uang aja sama Papa buat jadi bos besar,” balas Dion lugu.

“Dion, kita tidak pernah tahu apa yang sedang menanti kita di depan sana. Hidup itu seperti seni, seni untuk mengukir masa depan dengan apa yang sedang kita lakukan sekarang,” ucap Prama sambil membantu Dion menyiapkan makanan.

Entahlah Dion mengerti atau tidak, tapi anak itu tampak terkesan dengan penuturannya barusan. “Dion mau seperti Kak Prama,” jawab anak itu sambil tersenyum. Prama tertegun mendengar hal tersebut.

“Kenapa?”

 

“Karena Kak Prama baik.”

 

Prama tertawa, ia mencubit pelan pipi tembam Dion. Sementara Dion nyengir dan mulai fokus pada makanannya.

***

 

Prama menggendong tas ransel hitam nan lusuhnya, ia kini bersiap untuk ke kampus setelah mengurus Dion hingga jam sepuluh pagi. Seperti biasa sepedalah yang menjadi andalannya. Ia perlu menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit untuk tiba di kampus.

“Nah, babysitter sudah tiba,” ledek Ryan yang baru saja turun dari motor mahal edisi terbaru. Prama tidak menanggapi, ia sudah biasa menjadi bahan candaan mau pun ledekan oleh Ryan.

“Sombong banget sih babysitter ini? Nanti kalau bayinya kabur gimana?” Ryan tertawa terpingkal, suaranya yang kencang membuat orang-orang di sekitar pun ikut tertawa.

Prama mempercepat langkah sebelum telinganya semakin panas mendengar lontaran kalimat-kalimat negatif dari Ryan.

“Pram, ada lowongan kerja tambahan nih. Mau nggak?” Ryan ikut mempercepat langkah, menyesuaikan langkahnya dengan Prama. Ia berbicara serius sekarang.

“Jadi pengasuh sudah cukup.” “Yah, miskin saja banyak gaya!”

Sungguh, Prama tidak pernah ingin mendengar kata-kata tersebut dari mulut siapa pun. Akan tetapi, kita tidak bisa mengendalikan apa yang orang lain katakan kepada kita, bukan?

Bosan didiamkan oleh Prama, Ryan akhirnya mundur, ia bergabung bersama anak-anak Komunitas Motor Gede alias MOGE di taman kampus. Sebetulnya, Prama juga ingin bisa bergaul seperti teman-temannya yang lain, memiliki sebuah koleksi yang sama atau ketertarikan pada barang tertentu. Namun, apalah daya seorang Prama? Ia hanya mampu untuk membeli makan untuk sehari- hari, itu pun harus sering-sering berhemat.

Terkadang, Prama berpikir, mengapa Tuhan menjadikannya seorang pemuda dengan keterbatasan ekonomi? Mengapa teman-temannya yang lain dapat dengan mudah mendapatkan apa yang mereka mau hanya dengan uang?

***

 

“Kak Prama, kata Papa, kita harus menabung. Padahal kalau Dion nabung, uang jajan Dion kan jadi berkurang. Dion nggak mau nabung!” Dion cemberut sambil melipat kedua tangan di depan dada.


Prama yang sedang membereskan tempat tidur Dion pun menoleh, ia cukup gemas melihat wajah cemberut anak itu. “Kata siapa kalau nabung uang jajannya berkurang, hm?”

“Iya dong, Kak. Dion punya uang sepuluh ribu, ditabung lima ribu. Jadi, uang Dion tinggal lima ribu untuk jajan. Berkurang!” Dion masih kesal.

Prama melipat selimut dan meletakkannya di ujung kasur, ia mengajak Dion naik ke atas tempat tidur agar bersiap tidur siang. “Padahal sebetulnya kalau Dion nabung, uangnya jadi tambah banyak,” jawab Prama.

Dion memasang wajah bingung. “Kak Prama nggak bisa matematika, ya?” pertanyaan tersebut menimbulkan gelak tawa dari Prama.

“Matematika kehidupan dengan matematika di sekolah itu berbeda. Papa benar, Dion harus nabung untuk masa depan Dion. Misalnya, Dion mau beli mainan baru, sekarang Dion nggak punya uang karena mainannya mahal, tapi kalau Dion nabung selama seminggu, Dion akhirnya bisa beli mainan baru.”

Dion terdiam mendengar penjelasan tersebut.

 

“Nah, nabung itu bukan hanya tentang uang, tetapi juga kebaikan dan rasa kasih sayang. Selain menabung uang, Dion harus menabung kebaikan karena kebaikan-kebaikan yang Dion tabung di masa sekarang, itu akan Dion dapatkan di masa depan. Kebaikan-kebaikan Dion tadi juga akan selalu membekas di hati orang lain.”

Anak kecil dengan alis tebal di samping Prama itu tidak lagi cemberut, anak itu kini memasang wajah senang. Ia kemudian berlari mengambil celengan biru di sudut kamar, lalu menyerahkan pada Prama.

“Kak Prama, Dion mau nabung, tapi pakai uang Kak Prama, ya,” Dion menunjukkan deretan giginya yang rapi. Prama menepuk jidat, ada-ada saja ide anak polos ini.

“Dion, nabungnya pakai uang sendiriii,” ucap Prama gemas. Dion menggaruk belakang kepala sambil tersenyum malu-malu.

Tanpa disadari, Dion merekam segala kejadian bersama Prama di otaknya. Segala nasihat, candaan, dan perlakuan Prama padanya selalu ia simpan dalam memori terindah. Bagi Dion, Prama bukanlah manusia, melainkan malaikat yang selalu menebarkan harumnya kebaikan dan kerja keras. Ia bersaksi bahwa Prama adalah orang yang berhati bersih.

Suatu waktu, Dion pernah melihat Prama sibuk menulis di dekat kolam ikan hingga lupa bahwa saat itu adalah jadwal menemani Dion belajar menulis, pria itu tampak sangat serius dan tekun menulis untaian-untaian kalimat yang Dion pun tidak tahu artinya. Namun, Dion yakin, tulisan itu adalah tulisan yang amat penting dan berguna.

“Dion, ayo tidur siang dulu!” Prama mulai menegaskan anak laki-laki itu. Dion mengangguk patuh dan naik ke atas tempat tidur, Prama menyelimutinya sambil menyalakan pendingin ruangan. Dion tidak bisa tidur di tengah cuaca panas.

Ketika Prama hendak pergi, Dion menahan tangannya. “Kak Prama.” “Iya?”

“Tungguin Dion tidur,” rengek anak itu. Prama menghela napas, nampaknya ia harus menunda untuk mengerjakan tugas hingga Dion tertidur pulas.

“Iya, Kak Prama temenin.”

 

Dion tersenyum, ia perlahan memejamkan mata dan tenggelam dalam mimpinya. Sungguh, ia tidak tahu ada kejadian apa tepat setelah mimpinya mulai terasa nyata.

Saat itu ia tidak bisa bergerak, kaki dan tangannya terasa kebas serta kaku. Rasanya seperti dihimpit oleh sesuatu yang berat. Sesak, sesak sekali rasanya. Ada apa ini? Mengapa rasanya amat sulit untuk bergerak?

Perlahan, Dion membuka kedua mata, gelap, ini sangat gelap. Dion meringis ketika merasakan banyak tumpukan kasar kayu dan batu bata di sekitarnya. “Kak Prama …?” Dion berusaha membuka mata dengan sempurna.


“KAK PRAMA?! KAK?!” Dion menjerit histeris. Ia kini tahu mengapa tubuhnya terasa sempit. Ternyata Prama menghimpit tubuh mungil Dion dengan badan kekar pria itu.

“Kak? Ada apa ini, Kak?!” Dion berusaha mendorong tubuh Prama, namun Prama tidak bergerak sedikit pun, kedua matanya terpejam dengan bibir yang membiru.

Sepersekian detik kemudian Dion mendengar suara orang sedang menggali

tanah.

“Ada korban lagi! Ada korban!” seorang petugas dengan rompi bertuliskan “SAR” muncul, beberapa orang temannya langsung membantu mengevakuasi dua orang malang yang terjepit reruntuhan bangunan.

“Kak Prama! Tolong Kak Prama, Pak! Tolong dia, Pak!” Dion berteriak histeris ketika berhasil keluar dari reruntuhan. Ia sempat melihat Prama dievakuasi ke dalam sebuah mobil ambulans. Darah mengalir dari kepala bagian belakang dan punggung pria itu.

Dion yang tidak terluka sedikit pun berontak dari gendongan petugas Tim SAR, ia berlari, melompat masuk ke dalam mobil ambulans yang membawa Prama.

“Kak Prama! Kak, kuat, Kak!” Dion menangis sejadi-jadinya, ia mengguncang bahu pria yang menjadi inspirasinya selama ini, butiran air mata dan raungan tangis berpadu satu dengan sirine ambulans. Ia berharap, ini hanyalah mimpi buruknya saat tidur siang tadi.

“Bangun, Dion! Bangun!” Dion membenturkan kepala ke jendela hingga timbul bekas lebam. Akan tetapi, sekuat apa pun ia membenturkan kepala, tak mengubah fakta bahwa kini ia berada dalam kehidupan nyata.

Dion menanggung luka yang amat dalam ketika Prama dinyatakan telah tiada. Guru kehidupannya telah pergi untuk selama-lamanya. Prama pergi dengan meninggalkan jejak kebaikan yang tak pernah terlupakan sepanjang hidup.

“Terima kasih, Kak Prama. Terima kasih telah melindungi Dion,” Dion berbisik di telinga kanan Prama, ia terisak. “Suatu saat nanti, Dion akan menjadi


sepertimu. Dion janji akan menjadi orang baik seperti yang selalu Kak Prama ajarkan,” lanjut Dion. Ia menatap wajah Prama untuk yang terakhir kalinya, lihatlah, Prama pergi dengan wajah begitu damai.

“Selamat jalan, Kak. Selamat berbahagia.”

 

***

“Kepada pemuda-pemudi, aku ingin memberi tahu beberapa hal. Pertama, hidup bukan hanya tentang mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Tapi hidup adalah ajang untuk memberikan sesuatu yang dapat kita berikan.

Namun saat ini, semakin banyak manusia yang tumbuh dalam keegoisan dan keserakahan, hingga mereka lupa arti dari kebaikan. Berapa banyak anak muda yang mementingkan egonya untuk merendahkan orang lain? Berapa banyak anak muda yang tak henti membicarakan keburukan orang lain sementara dirinya tak melihat sedikit pun ke dalam hatinya? Dan berapa banyak anak muda, yang berdiri dalam kesombongan tanpa peduli dengan orang yang terinjak di bawah kakinya?

Kedua, jadilah baik. Jadilah manusia yang selalu menebarkan serbuk- serbuk perdamaian. Nyalakanlah matinya hatimu, bangkitkanlah energi positif di dalam jiwamu, dan sirnakanlah rasa benci di lubuk hatimu. Teruslah berusaha memaknai hidup, carilah hal-hal baik yang ada di dalam dirimu sendiri.

Tuhan memberikan kehidupan kepada setiap manusia dengan berbagai kekurangan yang berbeda. Kekurangan dari segi kondisi ekonomi, kondisi fisik, kondisi mental, bahkan kondisi keluarga. Semuanya memiliki porsi kekurangannya masing-masing. Tapi satu hal yang paling utama, ketika kamu berbuat baik pada orang lain, maka setiap kekurangan yang ada pada dirimu akan tertutup oleh indahnya kebaikan yang telah kau berikan.

Percayalah, kebaikanmu akan terus mewangi di hati orang lain bahkan ketika episode kehidupanmu telah usai. Ingatlah, bahwa perbuatanmu adalah sesuatu yang akan dikenang oleh orang lain saat kamu telah tiada.”

Ryan membenarkan letak jas putih di tubuhnya, ditutupnya kertas berisi tulisan tangan Prama yang ia temukan di tengah reruntuhan bangunan kala dirinya sedang menjadi relawan tanggap bencana. Prama pasti sudah bahagia di atas sana, sebab anak didiknya, Dion, berhasil menjemput mimpi dengan ribuan prestasi dan kebaikan yang sama seperti Prama. Dion kini telah tumbuh menjadi seorang perwira TNI yang gagah berani membela negara. Ryanlah yang menjadi saksi betapa mengagumkannya Prama bagi Dion hingga anak itu memiliki sifat persis seperti Prama.

Belasan tahun yang lalu, Ryan bertemu Dion yang sedang menangisi jasad seseorang di rumah sakit darurat. Dion bercerita banyak tentang guru kehidupannya yang menjadi salah satu korban gempa, tentang segala kebaikannya, segala ketulusannya, dan segala rasa kasih sayangnya. Saat itu, Ryan menyadari bahwa berbuat baik adalah kunci kehidupan.

Ryan mengusap nisan Prama sekali lagi. Lantas ia berdiri, menjauhi gundukan tanah tempat peristirahatan Prama yang terakhir. Kini, Prama adalah sumber inspirasinya untuk selalu menebarkan keharuman kepada orang banyak.

-SELESAI-

0 Komentar

© Copyright 2022 - LPM basic FMIPA UB