![]() |
ilustrasi mmd.ub.ac.id |
kabarbasic.com - Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) bertajuk Mahasiswa Membangun Desa dengan target 1000 desa di Jawa Timur (MMD-1000D) yang diadakan oleh Universitas Brawijaya menuai kontroversi. Berbagai kebijakan program yang diwajibkan bagi mahasiswa yang telah menempuh semester 4 Program Sarjana/Diploma-4 dan belum mengikuti Pengabdian Masyarakat ini dinilai masih cacat, rumpang, dan memberatkan peserta.
Sejumlah kritik dilontarkan oleh mahasiswa terkait kebijakan yang dirasa memberatkan. Mulai dari dana untuk pelaksanaan kegiatan yang dirasa kurang, pembatasan transportasi, hingga biaya kehidupan sehari-hari selama pengabdian.
Persoalan pertama adalah mengenai dana bantuan yang diberikan oleh pihak UB sebesar Rp 2 juta per kelompok. Pihak Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) selaku panitia pelaksana menjelaskan bahwa dana tersebut hanya digunakan untuk kepentingan program kerja yang dilaksanakan oleh masing-masing kelompok.
Namun, hal tersebut ternyata dirasa memberatkan mahasiswa seiring dengan tuntutan universitas dalam membuat program kerja. Hal tersebut disampaikan oleh Shelly, salah satu Koordinator Desa (kordes) di Fakultas MIPA.
“Proker besar mungkin bisa menggunakan dana bantuan dari UB, tapi untuk proker individu harus dipikir lagi. Belum juga biaya untuk makan di sana. Proker individu ini dipertanyakan lagi bagaimana pengelolaannya dengan dana hanya 2 juta dan ada proker kelompok. Selain itu, untuk pendanaan 2 juta ini juga tidak diberikan secara langsung, tapi “DP”. Pemberiannya 70% di awal baru nanti 30% setelah proposal selesai. Padahal 2 juta juga belum tentu cukup untuk 40 hari,” terang Shelly.
Sejalan dengan pernyataan Shelly, bagi Ananda Diva, peserta MMD 2023 dari program studi Kimia, dana 2 juta juga menjadi permasalahan.
“2 juta itu termasuk kurang untuk mega proyek yang sangat besar. Kok bisa menginovasikan 1000 desa padahal tahu konsekuensinya itu pendanaannya nggak akan cukup.” ujar Diva.
Menurutnya, uang tersebut memang terbilang cukup untuk program kerja yang akan dilaksanakan, akan tetapi justru menambah permasalahan yang lebih berat, yaitu akomodasi dan transportasi.
Ungkapan kontra juga disampaikan oleh kordes lain, sebut saja M.I.A. Ia menyampaikan bahwa bahkan DPL dari kelompoknya dengan pesimis berkata bahwa dengan dana 2 juta hanya akan cukup untuk konsumsi saat sosialisasi dan tidak cukup untuk proker lain. Untuk MMD yang akan berlangsung selama 6 minggu dengan anggota per kelompok berjumlah 14 orang seharusnya diberikan dana lebih untuk prokernya.
“Tahun lalu yang hanya satu tema saja peserta KKN harus mengeluarkan uang dari kantong pribadi karena kekurangan dana, apalagi MMD tahun ini yang dua tema,” tukas M.I.A.
Dari sudut pandang Renasya Aulia sebagai peserta KKN-T 2022 tingkat universitas, berkaca pada pengalaman tahun lalu, cukup atau tidaknya uang 2 juta bergantung pada pengelolaannya. Menurutnya, jika dana tersebut masih kurang, mahasiswa bisa meminta sponsor. Bahkan tidak jarang dari pihak desa mengetahui kekurangan atau kesulitan mahasiswa sehingga akan ada bantuan yang ditawarkan.
Meski demikian, pada prosesnya tetap ada mahasiswa yang harus ‘nombok’ karena dana yang diberikan oleh UB tidak kunjung cair. Hal tersebut disampaikan oleh Rena.
“Dana di tengah-tengah masih belum keluar jadi kami harus nombok pakai duit sendiri dan baru keluar di akhir, selesai KKN baru uang mahasiswa diganti sama UB. Kalau misal uangnya kurang bisa minta sponsor.”
Rena memandang bahwa adanya perubahan kebijakan pemberian dana sebesar 70% di awal dan 30% di akhir merupakan suatu perubahan baik yang dibuat oleh panitia MMD-1000D pada tahun ini.
Selain soal dana, peserta juga mengeluhkan larangan dari panitia untuk membawa kendaraan pribadi saat melakukan kegiatan pengabdian. Tentu saja hal itu sangat memberatkan peserta.
Menyikapi peraturan tersebut, mahasiswa banyak mengajukan pertanyaan kepada pihak panitia untuk mendapatkan jawaban yang melegakan. M.I.A. menyampaikan bahwa salah satu solusi dari panitia adalah dengan meminjam atau menyewa kendaraan penduduk setempat. M.I.A memandang hal ini merupakan hal yang belum pasti, menurutnya belum tentu warga berkenan untuk meminjamkan atau kendaraan yang disewa terjamin perawatan dan keamanannya.
“Sedangkan dari DPL sendiri menyampaikan bahwasanya tidak masalah membawa kendaraan pribadi asalkan hanya 2-3 untuk mobilitas di desa. Jarak antara balai desa dan pemukiman warga 6 km, jadi kalau setiap pagi berjalan dalam jarak tersebut beberapa kali tanpa kendaraan akan memberatkan,” ujar M.I.A.
Berbeda dengan kebijakan tahun ini, Renasya mengungkapkan bahwa tahun lalu diperbolehkan membawa motor pribadi dan dibatasi 3 motor saat pemberangkatan dan pemulangan. Sistematika pemberangkatan dan pemulangannya pun sedikit berbeda. Tahun lalu pemberangkatan dan pemulangan dilakukan menggunakan bus dan bagi anggota kelompok yang membawa motor akan mengikuti bus secara beriringan. Sedangkan tahun ini terdapat larangan membawa motor. Kebijakan itu menjadi upaya panitia menghindari iring-iringan dengan bus yang bisa menyebabkan kecelakaan mengingat tahun lalu sudah terjadi kecelakaan.
Akan tetapi, persoalan mengenai mobilisasi peserta MMD di desa belum terselesaikan. Belum pastinya sistematika pemberangkatan bagi mahasiswa yang lokasi desanya cukup jauh pun belum menemukan titik terang. Masih terdapat simpang siur informasi yang didengar oleh peserta. Diva menyampaikan bahwasanya biaya dari Malang ke desa tujuan menggunakan uang pribadi.
“Iya, sebenernya sih iya (red:pakai biaya dan kendaraan sendiri), yaudah kita mau gimana lagi, aku juga udah bicara sama mamaku itu pasti pake travel, gabisa enggak.”
Berbeda dengan Diva, berdasarkan pemahaman M.I.A., masalah pemberangkatan dan pemulangan sepenuhnya ditanggung pihak universitas, tapi bagaimana caranya akan dikembalikan lagi kepada kelompok masing-masing.
“Transportasi diakomodir panitia untuk keberangkatan dan kepulangan. Tapi yang mencari transportasinya adalah kelompok itu sendiri.”
Kerumpangan kebijakan yang menyebabkan simpang siur informasi ini bisa dibilang cukup mengecewakan. Padahal, menurut Shelly pengonsepan di awal sudah cukup baik karena timeline sudah dipaparkan sejak awal.
Berbeda dengan Shelly, M.I.A berpendapat bahwa meskipun timeline tersebut sudah ada, belum ada tanggal yang pasti kapan agenda tersebut dilaksanakan sehingga beberapa agenda terkesan dilaksanakan secara terburu-buru dan tidak sistematis seperti pembekalan 1 yang dilaksanakan selama lima jam dengan lebih dari tiga materi.
Dalam waktu yang termasuk singkat tersebut, mahasiswa peserta MMD 2023 terkena imbasnya. Banyaknya penugasan yang disampaikan secara mendadak dan juga memiliki tenggat waktu yang cukup singkat ini juga menjadi salah satu hal yang cukup memberatkan.
Shelly menyampaikan bahwa jika ada praktikum atau ujian praktikum, penugasan mendadak dengan tenggat waktu yang singkat sangat membuat keteteran. Hal tersebut menjadi kendala mengingat pelaksanaannya masih dalam hari aktif perkuliahan sehingga anggota memiliki aktivitas yang beragam.
Renasya, peserta KKN-T 2022 tingkat universitas, mengakui bahwa terdapat perbaikan dari penyelenggaraan tahun ini. Terkait apa saja luaran yang harus dihasilkan dan pendanaan sudah disampaikan sejak awal. Namun, adanya kerumpangan dan sikap terlalu buru-buru yang dilakukan panitia ini juga tidak bisa dimungkiri.
Dengan kebijakan-kebijakan yang belum sempurna ini, para peserta MMD 2023 berharap agar suara mereka didengar dan dijawab oleh pihak universitas. Para peserta juga berharap agar pihak panitia bisa membuat kebijakan dengan mempertimbangkan semua pihak yang terlibat (universitas, mahasiswa, DPL, desa) dan memberikan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan liar mahasiswa yang mungkin sebenarnya dijawab sendiri oleh prasangka dan kekhawatirannya. (ar/nr)
0 Komentar