Oleh: Muhammad Farkhan
Meskipun Hak Asasi Manusia (HAM) dimiliki oleh setiap orang, terdapat berbagai golongan masyarakat yang kesulitan dalam mengakses hak yang mereka miliki. Hal tersebut umum dijumpai kalangan minoritas dan juga marginal seperti masyarakat adat dan juga perempuan disebabkan oleh berbagai faktor historis dan juga kultural. Kondisi ini patut disesali mengingat HAM meliputi hak dasar seperti hak hidup, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dan hak lain yang bersifat fundamental1. Kesulitan dalam mengakses hak yang dasar tersebut dapat berdampak pada kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dan juga menjalani kehidupan yang setara dengan orang lain. Ini merupakan suatu dilema mengingat HAM telah diakui secara internasional melalui Universal Declaration of Human Rights 1945 sebagai suatu hak yang secara inheren dimiliki oleh tiap individu terlepas dari suku, golongan, ras, maupun gender. Meskipun 192 negara yang ada di dunia telah meratifikasi deklarasi tersebut, perlindungan terhadap HAM masih sulit direalisasikan2.
Meskipun Indonesia merupakan bagian dari negara yang telah meratifikasi deklarasi tersebut3, praktek perlindungan HAM yang ada masih jauh dari kata ideal terutama bagi perempuan. Hal tersebut dapat terlihat dengan jelas terutama dalam sektor ekonomi. Berdasarkan data tahun 2020, terbukti bahwa terdapat ketimpangan upah di antara perempuan dan laki laki sebesar 23% untuk pekerjaan yang sama di Indonesia.4 Tidak berhenti disitu, riset yang sama juga menunjukkan adanya perbandingan sebesar 1:3 di antara perempuan dengan laki-laki untuk posisi dengan upah lebih tinggi5. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan masih rentan terhadap diskriminasi di masa sekarang.
Meskipun masyarakat sudah lebih progresif, perempuan masih menghadapi tantangan dalam mengakses hak spesifik yang mereka miliki di dunia kerja. Hal tersebut disebabkan oleh paradigma pemikiran yang dimiliki oleh berbagai perusahaan umumnya berorientasikan pada keuntungan. Contohnya seperti kontroversi penyediaan fasilitas cuti melahirkan. Cuti yang diberikan terhadap perempuan ketika mereka menjalani proses persalinan ini sering dinilai sebagai inefektivitas anggaran bagi perusahaan6. Hal tersebut dikarenakan upah yang dibayarkan terhadap mereka masih utuh sedangkan di saat yang bersamaan perusahaan kehilangan satu tenaga kerja selama jangka waktu enam minggu atau lebih. Faktor ini berkontribusi terhadap enggannya perusahaan dalam mempekerjakan perempuan dikarenakan beban anggaran yang ada. Hal tersebut menyebabkan permasalahan seperti tidak tersedianya cuti melahirkan di berbagai perusahaan dan juga kebijakan cuti yang tidak tepat. Hal tersebut tidaklah etis mengingat perempuan yang dalam masa kehamilan memerlukan banyak istirahat terutama mendekati proses persalinan.
Oleh karena itu penting bagi perusahaan untuk mengubah paradigma terhadap cuti melahirkan bukan sebagai suatu pengeluaran tetapi sebagai investasi. Memahami bahwa penyediaan fasilitas tersebut bukan sebatas sebagai pemenuhan kewajiban perusahaan untuk melindungi hak pekerja tetapi juga sebagai upaya meningkatkan produktivitas secara jangka panjang. Hal tersebut dikarenakan pemberian fasilitas cuti melahirkan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat khususnya perempuan terhadap perusahaan.
Fakta bahwa persepsi pekerja terhadap lingkungan pekerjaannya dapat mempengaruhi motivasi kerja7, menjadi alasan pertama mengapa penyediaan cuti melahirkan penting untuk meningkatkan produktivitas pekerja perempuan. Penyediaan cuti yang baik dapat dikategorikan sebagai suatu affirmative action terhadap keberadaan hak khusus perempuan mengindikasikan bahwa perusahaan peduli terhadap kondisi pekerja. Hal ini membangun rasa nyaman bagi perempuan untuk menjalani pekerjaannya tanpa perlu khawatir akan menghadapi pemberhentian kerja baik dalam masa kehamilan dan juga pasca-persalinan8.
Selain dari itu, penyediaan cuti melahirkan juga mempengaruhi citra perusahaan sebagai suatu lingkungan kerja yang dapat menjamin hak dasar perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan dapat berkontribusi terhadap penegakan HAM dan juga dapat menyediakan tempat nyaman bagi perempuan untuk bekerja. Citra tersebut nantinya akan berdampak pada meningkatnya jumlah pekerja wanita yang tertarik untuk bekerja pada perusahaan tersebut. Hal ini berdampak positif terhadap perusahaan mengingat terciptanya peluang bagi perusahaan untuk memperoleh tenaga kerja yang kapabel terlepas dari gender yang dimiliki.
Di saat yang bersamaan, penyediaan cuti melahirkan juga memberikan alasan bagi pekerja wanita untuk berkomitmen terhadap perusahaan dalam jangka panjang. Hal ini dikarenakan penyediaan cuti melahirkan memberikan kepastian bagi tenaga kerja perempuan dalam perjalanan karirnya. Ini memberikan kepastian berupa penghasilan selama masa pemulihan dan juga istirahat yang cukup. Kondisi tersebut memberikan insentif bagi perempuan untuk menetap dalam pekerjaan tersebut. Ini menguntungkan bagi perusahaan dikarenakan memiliki tenaga kerja perempuan yang loyal sehingga meminimalkan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan proses perekrutan.
Berlandaskan pada hal tersebut, merubah paradigma yang dimiliki perusahaan terhadap pekerja perempuan dapat memberikan keuntungan baik bagi perusahaan maupun golongan perempuan di Indonesia. Pemahaman bahwa perlindungan terhadap hak perempuan juga dapat memberikan dampak positif bagi perempuan dapat memberikan insentif lebih bagi perusahaan untuk memberikan fasilitas cuti melahirkan yang layak bagi pekerja yang ada. Sistem ekonomi kapitalis yang memang berorientasikan pada profit tidak seharusnya menjadi penghambat dari terealisasikannya perlindungan terhadap hak perempuan atas cuti melahirkan. Maka upaya pendekatan seperti kampanye sosial serta lobbying terhadap perusahaan besar akan pentingnya penyediaan cuti melahirkan dan bagaimana hal tersebut dapat memberikan keuntungan bagi operasional perusahaan merupakan salah satu tindakan efektif yang dapat menyelesaikan masalah ketidaksetaraan yang bertentangan dengan perlindungan HAM.
Editor: Nazarru Djalu Ulhaqi
1 OHCHR, Human Rights Textbook, http://shapesea.com/wp-content/uploads/2016/02/HR-Textbook-Ch-1-Fundamentals-Ed-1
.pdf diakses pada tanggal 6 Januari 2023.
2 Housing Rghts Watch, UN Housing Rights https://www.housingrightswatch.org/page/un-housing-rights diakses pada tanggal 6 Januari 2023
3 Eldridge, P. (2002). Human Rights in Post-Suharto Indonesia Spring. IX(1). https://fis.unj.ac.id/labs/sosiologi/wp-content/uploads/2020/01/12-14-Eldridge.-2002.-Hum an-Rights-in-Post-Suharto-Indonesia.pdf
4 International Labour Organization, Gender Pay Gaps in Indonesia, https://asiapacific.unwomen.org/sites/default/files/Field%20Office%20ESEAsia/Docs/Misc
/2020/09/id-Gender-Pay-Gap-Statistic-in-Indonesia-September-2020.pdf diakses pada 6 Januari 2023.
5 Ibid
6 Canaan, S., Lassen, A., Rosenbaum, P., & Steingrimsdottir, H. (2022). Maternity Leave and Paternity Leave: Evidence on the Economic Impact of Legislative Changes in High Income Countries. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.4114688
7Naa, Gifty & Okine, Boafoa & Yaw, George & Addeh, Asare & Emmanuel Olusola, Babalola & Asare, Isaac & Addeh, George Yaw Asare. (2021). Employee Motivation and its Effects on Employee Productivity/ Performance a. 10.7176/JESD/12-16-11.
8 Stephen Keyes, Affirmative Action for Working Mothers: Does Guerra's Preferential Treatment Rationale Extend to Child Rearing Leave Benefits?, 60 Fordham L. Rev. 309 (1991).
0 Komentar