Oleh: Ni Komang Putri Karina Sari
Ferdy Sambo, nama ini tidak lagi asing di telinga kita. Kasus penembakan yang terjadi di kediaman Kadiv Propam ini telah menjadi sorotan publik sejak pertama kali terungkap di media pada bulan Juli 2022. Kasus ini merupakan cerminan dari penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pelanggaran HAM. Meskipun hingga saat ini motif dari pembunuhan tersebut belum terungkap, namun merencanakan pembunuhan dan memanipulasi kejadian merupakan pelanggaran HAM apapun alasannya. Peristiwa pembunuhan ini jelas merupakan pelanggaran HAM yang berat. Seseorang yang kerap disebut ‘polisinya polisi’ telah merencanakan pembunuhan terhadap bawahannya dengan memanfaatkan ketidakberdayaan bawahannya yang lain dan bahkan menutupi tindakan kejinya dengan memfitnah sang korban yang telah meninggal dunia.
Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang berhak merenggut hak hidup orang lain. Hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat diingkari maupun dikurangi terhadap seseorang dalam situasi apapun. Apalagi pembunuhan telah direncanakan dan telah dipersiapkan skenario palsu sebagai pembelaan. Tindakan ini merupakan tindakan yang jauh melenceng dari HAM dan pelaku pantas didakwa pasal 340 KUHP atas pembunuhan berencana. Dakwaan ini saya rasa kemungkinan besar akan menjerat terdakwa utamanya, Ferdy Sambo, selaku dalang dari skenario pembunuhan ini. Namun, mengingat seberapa besar kuasa yang ia punya menorehkan setitik keraguan pada diri saya mengenai hukuman yang akan diterima terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Chandrawati. Sebab, dapat kita lihat beberapa saksi tidak berkata jujur karena takut akan kuasa terdakwa walaupun secara harfiah ia tidak lagi memiliki jabatan. Ini menyadarkan saya bahwa se-lemah apapun seseorang yang berkuasa, ia masih memiliki kekuatan.
Ferdy Sambo telah mengaku dirinya adalah dalang di balik pembunuhan Brigadir J. Hal ini sejalan dengan pernyataan Richard Eliezer yang juga merupakan salah satu terdakwa pada kasus ini. Namun, keterangan awal Ferdy Sambo dan Putri Chandrawati yang menyebutkan bahwa pemerkosaan oleh Brigadir J kepada Putri Chandrawati sebagai motif dari pembunuhan berencana ini kini telah terbukti hanyalah kebohongan. Asumsi tersebut didukung oleh hasil tes poligraf Putri Chandrawati yang sebesar -25, Ferdy Sambo sebesar -8, dan Richard Eliezer selaku Obstruction of Justice sebesar +13. Hal ini sangat mengerikan sebab mengindikasikan seluruh pernyataan dari Ferdy Sambo dan Putri Chandrawati adalah kebohongan dan sudah bisa diduga oleh banyak pihak yang mengikuti kasus ini sejak awal. Namun yang ingin saya soroti dalam poin ini adalah fitnah yang dilontarkan kepada korban, Brigadir J, yang juga mencemarkan nama baiknya. Fitnah merupakan pelanggaran HAM dalam skala kecil, sebab tidak ada satu manusiapun yang pantas untuk dicemarkan nama baiknya dengan kebohongan- kebohongan apalagi hal tersebut dilakukan untuk keuntungan si penyebar fitnah. Dalam konteks kasus ini, Ferdy Sambo dan Putri Chandrawati memfitnah korban yang telah meninggal untuk meringankan hukuman yang akan mereka terima.
Dalam kasus ini, bukan hanya tindak pembunuhan dan fitnah saja yang merupakan tindakan pelanggaran HAM. Bagaimana Ferdy Sambo yang menggunakan kekuasaan yang ia punya untuk memerintah dan memaksa bawahannya untuk melakukan pembunuhan dan pelenyapan barang bukti sehingga ia dapat terhindar dari tuduhan, merupakan sebuah tindakan pelanggaran HAM. Sebab Hak Asasi Manusia juga berarti bahwa setiap manusia berhak memilih dan memutuskan keputusan apapun tanpa adanya tekanan dari pihak lain. Dalam kasus ini, Ferdy Sambo memerintahkan dan memaksa Richard Eliezer untuk menembak Brigadir J dengan alasan bahwa jika Ferdy Sambo sendiri yang melakukan penembakan terhadap Brigadir J, tidak akan ada yang melidungi mereka sedangkan apabila Richard Eliezer yang melakukan penembakan, Ferdy Sambo akan membebaskannya dari segala hukuman. Tindakan yang dilakukan Ferdy Sambo menunjukkan bagaimana ia memaksa dan memanipulasi Richard Eliezer agar bersedia menembak Brigadir J. Hal tersebut berarti Ferdy Sambo mengetahui konsekuensi yang akan ia terima apabila melakukan pembunuhan berencana sehingga ia mengorbankan bawahannya.
Ricky Rizal, salah satu ajudan Ferdy Sambo yang juga merupakan terdakwa pada kasus pembunuhan ini, menurut saya merupakan salah satu tokoh penting yang dapat mencegah tragedi ini terjadi. Sebab, ia merupakan orang pertama yang diperintah Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. Namun ia menolak, lalu Ferdy Sambo memerintahkannya untuk memanggil Richard Eliezer. Berdasarkan hal tersebut seharusnya Ricky Rizal sudah mengetahui alasan Ferdy Sambo memanggil Richard Eliezer dan ia juga mengetahui bahwa Brigadir J akan dibunuh. Apabila ia memiliki empati, rasa setia kawan, dan yang paling mendasar adalah rasa kemanusiaan, ia dapat mencegah kejadian ini terjadi. Ditambah Ricky Rizal merupakan senior di antara ajudan Ferdy Sambo. Namun, atas dasar tindakan Ricky Rizal yang memilih bungkam, saya berasumsi bahwa Ricky Rizal menyarankan Ferdy Sambo untuk memerintahkan Richard Eliezer sebab ia merupakan ajudan termuda Ferdy Sambo. Saya juga menduga bahwa telah terjadi sesuatu antara Brigadir J dan Ricky Rizal yang menyebabkan hubungan antara keduanya memburuk sehingga Ricky Rizal membiarkan begitu saja Brigadir J dibunuh. Dan saya menemukan sesuatu yang janggal, yang mana Ferdy Sambo menerima penolakan dari Ricky Rizal. Menurut saya, Ferdy Sambo terkesan teledor melepas Ricky Rizal yang berpotensi menggagalkan rencananya, mengingat ia sudah mengetahui skenario yang dibuat oleh Ferdy Sambo. Apapun yang sebenarnya terjadi, tidak menutup fakta bahwa Ricky Rizal tidak memiliki rasa peri kemanusiaan.
Sebagai warga biasa, dengan terus update perkembangan kasus ini di media sosial merupakan salah satu langkah kecil agar kasus ini tetap menjadi sorotan. Sehingga kita dapat memantau perjalanan kasus ini hingga tuntas. Sebab apabila perhatian publik terhadap kasus ini menurun, memperbesar kemungkinan kasus ini akan perlahan menghilang bak ditelan bumi dan akan berjalan tanpa pantauan publik.
Pada kasus ini ditemukan beberapa tindak pelanggaran HAM mulai dari yang berat yaitu pembunuhan berencana hingga yang ringan yaitu pemfitnahan. Dapat disimpulkan juga bahwa tindak kejahatan tidak hanya dilukakan oleh si pelaku. Namun, kejahatan juga dilakukan oleh mereka yang mengetahuinya namun mencoba menutup mata seakan tidak terjadi apa-apa. Kasus ini juga membuktikan seberapa kotor dunia kepolisian yang sebenarnya.
Pembelajaran yang dapat kita petik melalui kasus ini adalah jangan pernah melakukan tindak kejahatan apapun baik dalam skala besar ataupun kecil. “Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga”, jangan pernah sekalipun berpikir bahwa kejahatan yang telah diperbuat akan terkubur selamanya. Saya berharap dalam kasus ini hukum berlaku tanpa pandang bulu dan motif dari pembunuhan ini akan segera terungkap. Saya juga berharap tidak lagi terjadi kasus pelanggaran HAM apalagi hingga merenggut nyawa.
Editor: Nazarru Djalu Ulhaqi
0 Komentar