Oleh: Citra Kumala Putri
Hak asasi manusia atau kerap disingkat HAM merupakan konsep yang menyatakan setiap manusia, terlepas dari SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) serta jenis kelamin, memiliki hak yang melekat secara kodrati sebagai makhluk hidup. Di Indonesia, HAM diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 terkait regulasi dan implementasi hak asasi manusia. Salah satu pasalnya yaitu Pasal 5 yang mengatakan bahwa “setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaan di depan hukum”, menjadi bukti konkret yang menegaskan bahwa kita sebagai manusia wajib memanusiakan orang lain tanpa memandang latar belakangnya. Terlepas dari itu, ternyata masih marak ditemui kasus-kasus pelanggaran HAM, terkhusus bagi para kaum rentan seperti perempuan. Dilansir dari nasional.tempo.co (29/11/2022), data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyatakan dalam rentang tahun 2015 hingga 2021, terdapat total 87 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan lonjakan terbesar pada 2020 yakni 36 kasus. Stigma tertanam yang menempatkan perempuan di posisi subordinasi menjadi salah satu faktor pendorong tingginya kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan dalam bentuk apapun, baik kekerasan, pelecehan, maupun sesederhana pembatasan peran. Perempuan kerap dianggap sebagai second class citizen dimana kedudukan kaum perempuan ditempatkan lebih rendah daripada kedudukan kaum laki-laki. Fenomena tersebut berimplikasi pada minimnya akses dan fasilitas yang mampu diperoleh, mulai dari segi pendidikan, pekerjaan, bahkan sosial budaya sekalipun. Dalam lingkup keluarga secara politik, kaum perempuan sebagai istri dianggap kelompok sekunder dan tidak memiliki otoritas sebab suami menduduki posisi teratas sebagai kepala keluarga dan berhak menentukan keputusan yang bersifat publik (Handayani, 2016). Isu-isu terkait ketidaksetaraan dan kegagalan penghapusan diskriminasi kepada perempuan menjadi pertanda bahwa hak asasi manusia belum ditegakkan secara penuh dan menyeluruh yang mana berindikasi pada rendahnya peran perempuan dalam pembangunan pada masa mendatang.
Dalam artikel
publikasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (2017), disebutkan
terdapat lima hak-hak utama
perempuan, antara lain hak dalam perkawinan dan keluarga, hak dalam bidang kesehatan, hak dalam kehidupan
publik dan politik,
hak dalam ketenagakerjaan, dan hak dalam bidang pendidikan. Menurut Badan Pusat
Statistik (2021) yang dilansir dalam pikiran-rakyat.com (2022),
persentase perempuan berumur di atas 15 tahun yang tidak
memiliki ijazah sebesar 16,09%, sedangkan laki-laki
sebesar 11,65%. Tak hanya itu, persentase buta huruf pada perempuan lebih besar yaitu 5,35%, sedangkan
laki-laki 2,57%. Data tersebut menunjukkan bahwa masih ditemui kesenjangan dalam menempuh pendidikan antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Kesetaraan
dalam mengenyam pendidikan bukan hanya dapat menentukan nasib perempuan, melainkan
juga sebagai wadah perjuangan
bagi persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki. Rendahnya tingkat
pendidikan bagi kaum perempuan juga dipengaruhi oleh kultur yang menempatkan wanita agar hanya berfokus pada masalah “sumur,
kasur, dan dapur”,
yang merupakan paradigma konservatif di mana wanita sebagai istri hanya memiliki
kewajiban untuk melayani
suami serta mengerjakan aktivitas domestik saja. Padahal,
menurut UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) dinyatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”,
artinya secara kodrati perempuan dan laki- laki
seharusnya memiliki kesempatan yang
sama dalam berpendidikan. Selain meningkatkan kualitas sumber daya perempuan yang mandiri dan kompeten, pendidikan bagi perempuan juga penting
sebab nyatanya kecerdasan seorang anak ditentukan oleh seberapa besar peran seorang ibu di
lingkungan keluarga.
Tingkat
pendidikan yang rendah juga berimplikasi pada probabilitas kemunculan berbagai jenis kekerasan
terhadap perempuan, seperti
human trafficking, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), pemaksaan aborsi,
dan kekerasan seksual (Ainiyah, 2017). Peran pendidikan juga menentukan eksistensi perempuan
dalam sektor ketenagakerjaan, terutama apabila dikaitkan
dengan profesi yang menyangkut kepemimpinan. Di seluruh dunia, laki-laki bahkan memperoleh penghasilan rata-rata 30% sampai 40% lebih besar daripada
penghasilan perempuan meski mengerjakan suatu pekerjaan yang sama (Handayani, 2016). Hal ini lumrah ditemukan dengan asumsi bahwa perempuan
tidak akan bisa melaksanakan
tanggung jawab tertentu seoptimal ketika dieksekusi oleh para laki- laki di lingkungan kerja. Dilansir melalui
databoks.katadata.co.id (2020), hanya 21,66% perempuan
yang dapat terjun sebagai tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan
menurut laporan BPS tahun 2019. Budaya yang melekat di mana perempuan dianggap makhluk
subjektif perasa membuat
kaum perempuan acap kali dinilai
tidak mumpuni dalam mengampu tanggung
jawab yang membutuhkan kemampuan objektif dan kepemimpinan, seperti Human Resource Development (HRD)
atau General Manager (GM).
Tingkat pendidikan yang rendah berimbas
pada minimnya eksistensi perempuan dalam menunjukkan potensi diri di lingkungan kerja sehingga membuat
perempuan memilih untuk berprofesi sebagai
karyawan biasa atau buruh. Keterbatasan kesempatan kaum perempuan untuk unjuk gigi membuktikan bahwa praktik-praktik
pelanggaran hak asasi manusia masih sering ditemukan, bahkan di lingkup terdekat kita sekalipun. Fenomena
ini didorong oleh pola pikir konservatif yang
menganggap perempuan sebagai pelayan rumah tangga yang tidak perlu menempuh
pendidikan setinggi mungkin.
Hal ini pula membuat perempuan berada di posisi
rentan dengan probabilitas mengalami kerugian cukup banyak, baik dari segi ekonomi, kesehatan, pendidikan,
maupun ketenagakerjaan. Oleh karena itu, perlu diinternalisasi dan penanaman mindset,
terkhusus bagi pemuda generasi penerus
bangsa, bahwa tiap manusia memiliki
hak setara dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan sesuai dengan
kapabilitas individu, terlepas dari gender atau
jenis kelamin yang melekat. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya merupakan
individu sederajat yang memiliki hak untuk mengenali
dan mengembangkan potensi
diri.
Editor: Umi Syarifah
0 Komentar