Breaking News

Back to the Memories: Sebuah Epilog

 Oleh: Izza Lailatul Kasanah

        "A ... a ... tes, satu, dua, dicoba." 

Tiga sampai empat kali aku sudah mendengar ini dari adik kelas itu.  Barangkali saat suara mikrofon nya sudah jernih, saat itu ia akan berhenti. Entahlah dengan orang lain, tapi aku terkadang tidak mengerti tujuan orang-orang melakukan itu. Rasanya suaranya sama saja, atau memang telingaku saja yang memang kurang memiliki kepekaan. Persetan dengan hal semacam itu, rasanya aku sudah tidak tahan duduk berlama-lama di sini.  Rasanya ingin mati saja. Siapa orang bodoh yang menyeretku ke tempat ini dan sekarang meninggalkanku sendirian? 

Rama, si orang bodoh itu. Maksudku, dia tak sebodoh itu, tapi ayolah, aku sudah menunggu di sini hampir setengah jam dan dia tidak segera naik ke panggung. Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan? Apakah orang-orang ini membatalkannya karena suaranya sedikit sumbang? Hehe, untuk yang satu ini sebenarnya aku tak mengharapkannya.  Lalu bagaimana dengan janjinya tadi yang akan cepat-cepat menyelesaikan ini dan menawarkanku minuman dingin? Namun, beginilah nasibku sekarang. Menunggu sahabat yang setiap hari membuatku naik darah dengan setia dan anteng. Mau tidak mau aku sudah telanjur duduk di salah satu kursi di gedung yang panas ini.  Saat pulang sekolah seperti ini, rasanya semakin panas karena di luar matahari memang sangat terik.  Ya Tuhan, apakah ini simulasi-Mu untukku saat di Padang Mahsyar nanti?  

Ramadhan memang penyanyi yang bagus, setidaknya untuk sekolah ini. Kalau bukan karena pentas perpisahan ini, sebenarnya aku tidak akan terjebak di sini.  Lupakan saja tentang masalah ini, tapi ada apa dengan orang-orang ini? Ayolah, kupikir aku adalah senior yang cukup terkenal. Mereka hanya lalu lalang di depan ku tanpa sapaan, ah paling tidak sebuah anggukan santun dan aku pasti akan meresponsnya.  

"Mari, Kak Tama," suara seorang adik kelas terdengar dari depanku. Ia berjalan dengan membawa satu kardus air mineral bersama seorang temannya. Setidaknya aku lega budaya timur tidak luntur di sini. Tadi sudah kubilang, memang mereka tau aku. 

Lima belas menit aku duduk sibuk dengan ponselku. Lalu, tanpa sengaja aku memandang ke arah panggung di depanku.  Segera setelahnya aku mendapat lambaian dari seseorang yang sebenarnya aku berharap tidak mengenalnya, Rama.  Siapa lagi memangnya yang lebih menyebalkan dari dia.  Setelah satu jam dan dia baru akan naik ke atas panggung. Ini sudah hampir pukul 4 sore dan aku merasa seperti daging kukus di sini. Kulihat ia sedang menunjuk-nunjuk dirinya sendiri. Mungkin itu adalah isyarat bahwa dia akan memulai Gladhi Resik untuk acara besok. Ah, lega juga karena ini saatnya aku bisa bersiap pulang.  

Sumber: dwiapurameity.com

Awal kan berakhir

Terbit kan tenggelam

Pasang akan surut

Bertemu akan berpisah


Heii Sampai jumpa dilain hari

Untuk kita Bertemu lagi

Ku relakan dirimu pergi


Meskipun Ku tak siap untuk merindu

Ku tak siap Tanpa dirimu

Ku harap terbaik untukmu


Dududu Dudududu


Datang akan pergi

Lewat kan berlalu

Ada kan tiada

Bertemu akan berpisah


Awal kan berakhir

Terbit kan tenggelam

Pasang akan surut

Bertemu akan berpisah


Heii Sampai jumpa dilain hari

Untuk kita Bertemu lagi

Ku relakan dirimu pergi


Meskipun Ku tak siap untuk merindu

Ku tak siap Tanpa dirimu

Ku harap terbaik untukmu


Heii Sampai jumpa dilain hari

Untuk kita Bertemu lagi

Ku relakan dirimu pergi

 Sejenak pandanganku beralih dari ponsel menuju panggung. Rama berdiri di belakang standmic dengan 'karisma penyanyinya'. Seperti yang kuduga, ia akan menyanyikan lagu semacam itu. Sebuah lagu yang khas untuk anak yang biasanya akan meninggalkan sekolahnya. Dan sepertinya, mungkin kita semua sudah hafal liriknya.  Dia menyanyikannya dengan baik,  Seperti biasanya. Tapi baru saja kusadari sesuatu, apakah seseorang datang hanya supaya kita menyadari kepergiannya nanti?  Apakah pertemuan disediakan untuk perpisahan?

Lirik itu. Ah, kenapa aku merasa pilu. Apakah aku belum siap meninggalkan orang-orang konyol-ku di sini? Apakah aku tidak siap kesepian tanpa mereka? Maaf soal semua pertanyaan ini, tapi itu muncul begitu saja. 

Kata orang, masa yang paling indah adalah masa SMA. Aku meyakininya, dan sekarang aku akan meninggalkan masa indah itu. Sebenarnya, seru juga memiliki teman-teman yang sedikit menjengkelkan.  Teman-teman yang membuatku menghapus kata sunyi dalam kamusku.  Teman-teman yang kurasa  sedikit gila. Tapi, memikirkan akan menghadiri sebuah 'penyambutan' untuk perpisahan kami dalam beberapa hari, akan sedikit memilukan.  Sekarang baru kusadari pertanyaan. Apakah aku siap dengan perpisahan ini? 

"Hei, jangan di situ!" 

Aku menyadari suara seseorang yang sepertinya ditujukan ke arahku. "Apa yang—" aku belum menyelesaikan kata-kataku. 

"Baiklah, aku akan menaruhnya di dekat pintu masuk saja," kata seorang anak laki-laki berkacamata terhadap temannya itu.  Ya, ada sedikit kesalahpahaman di sini, untukku. Aku pikir aku harus segera pergi dari tempat dudukku. Aku merasa semua orang memang sibuk di sini. Adik kelas yang sibuk menata panggung, interior dan semacamnya,  Rama yang sibuk menata suaranya,  dan aku yang sibuk menunggu. Menunggu Rama selesai dan menunggu hari sabtu, acara pentas seni dan perpisahan kelas 3. 

***

Kami duduk di kursi terdekat dari pintu masuk kantin. Rama menepati janjinya. Sebelum pulang sekolah, ia mentraktirku minuman dingin dan sebungkus camilan juga. Setidaknya, cukup untuk mengisi tenaga untuk perjalananku pulang kerumah.  

"Tama, aku minta maaf, ya." 

Aku hanya memandangnya.  

"Aku pasti banyak salah sama kamu selama 3 tahun ini."

Aku hampir tersedak. "Apa? Ya iyalah kamu banyak dosa sama aku. Haha." 

"Ah, kamu mah.  Aku seriusan, juga.  Kita bakalan ada acara perpisahan dan lo tau apa artinya itu buat kita semua."

Sangat jarang aku melihat keseriusan itu di wajah Rama. Kuputuskan untuk membuat kata katanya itu sebagai candaan di awal. Tapi, aku tau bahwa dia serius.  

"Udahlah,  kita tidak berpisah untuk selamanya, dan kamu mau di sini terus nggak lulus-lulus? Haha." 

"Ih, amit amit, deh. Kamu aja kalo itu mah.

"Makanya, haha."

Aku rasa semua teman sebayaku sudah memiliki tujuan mereka masing-masing.  Yang kumaksud adalah universitas yang mereka pilih. Dan untukku, aku sangat bersyukur, sebuah seleksi perguruan tinggi sudah aku lewati, begitu pun Rama dan juga beberapa teman sekelasku. Kurasa teman-teman lain sangat berjuang mengejar impian mereka, dan salah satunya masuk ke universitas favorit.  Setelah ini kami akan memiliki fokus masing masing, akan menjalani hari hari tanpa satu sama lain nantinya.  

Kami pernah menangis di kelas. Itu terjadi beberapa hari sebelum ujian sekolah. Yang kumaksud adalah teman-teman perempuanku. Ayolah, bukannya aku malu jika aku juga menangis, tapi kami anak laki-laki tidak akan sedramatis anak perempuan.  Kami buat hari itu seakan benar-benar yang terakhir. Kami sampaikan maaf dan doa sebagai sebuah keluarga yang harmonis.  Dan mungkin kami akan menyelesaikannya dalam beberapa hari ini.  

"Udahlah, Ram. Kamu tuh nggak usah sedih gitu kali. Kita kan bakalan bisa terus komunikasi sama teman teman lain juga," hiburku pada Rama yang terlihat murung selama percakapan kami. 

"Iya, aku tahu,  tapi kamu kan juga tahu kalo aku tuh susah beradaptasi sama lingkungan baru.  Terutama kelas 3 ini aku ngerasa nyaman banget sama kalian semua." 

"Alah, petakilan kayak gitu mah gampang cari temen baru mah," candaan renyahku untuk mencairkan susana hati Rama. 

"Ram, kalo dipikir-pikir aku juga banyak salah sama kamu.  Tapi aku nggak nyesel. Haha."

***

Aku akan mengiyakan kalau Rama adalah temanku yang paling dekat. Bukan berarti dengan teman-teman lainnya aku tidak dekat, tapi kurasa kami sudah berada di level sebuah persahabatan.  Kami sering mengobrol tentang apa pun dan kadang membicarakan hobi kami masing-masing yang jauh berbeda.  Kami pernah bertengkar, itu wajar kan untuk sebuah pertemanan? Dan bila dipikirkan, aku juga begitu kepada semua temanku dikelas. Aku yakin nanti aku akan merindukan mereka. 

Aku sudah memilih perguruan tinggi yang akan ku tempuh di pendidikanku selanjutnya, begitu pun Rama dan teman-teman lainnya.  Semua punya mimpi masing masing yang aku pun juga yakin akan kami raih setelah ini. Kami akan menuju jalan kami masing-masing dan itu adalah kepastian. Kami akan memulai jalan baru dengan meninggalkan jalan yang sudah kami tempuh.  Kurasa itu memang siklus hidup. Bertemu sementara untuk membuat sedikit kenangan, dan menyelesaikannya ketika sudah cukup.  

    Cukuplah kami menjadi seorang teman dan sahabat untuk satu sama lain. Memang kami akan membuat acara perpisahan, tapi itu bukan yang terakhir dari pertemuan kami, ‘kan?  

        Teman-temanku yang baik, kita akan selalu bertemu, terutama ketika kita sukses nanti.  

Editor: Yohanes Rasultantino Nenta

2 Komentar

© Copyright 2022 - LPM basic FMIPA UB