“Danang, di mana kau?”
Kakek
memanggilku dengan suara lantangnya. Lekas kuberlari dari kamarku menuju ke
garasi tempat beliau menunggu. Hari ini Kakek berjanji akan membelikanku hadiah
untuk ulang tahunku yang ke-12, tentu setelah menyelesaikan urusannya dengan
Paman Arul di pasar nanti.
“Aku
di sini.” Ucapku setelah menampakkan diri dari pintu besi garasi yang berkarat.
Kakek telah siap dengan mobil pikapnya yang telah dipanasi mesinnya. Beberapa
kotak kayu berisi berbagai macam besi tua yang telah kami kumpulkan minggu ini tertumpuk
di bagian belakang pikap.
“Mengapa
pagi sekali kek?”
“Kudengar
akan ada serangan hari ini,” Ucapnya, lalu menghisap cerutu tebal ditangannya hingga wajahnya diterangi
sinar dari bara rokoknya. Raut kekhawatiran terpancar diwajahnya, “Jangan
terlalu jauh dari Kakek nanti di sana, kau mengerti?”.
Sedikit
tertegun dengan ucapan Kakek, aku hanya megangguk singkat dan secepatnya duduk
disampingnya. Kututup pintu disampingku, mesin pikap berderit sebentar lalu kami mulai
melaju menembus gelapnya malam.
---07:00, Pasar Loak Kota Jember.
Tahun 2057
Kami
terlibat perbincangan seru di lapak milik Paman Arul, berbagai macam kudapan
yang belum pernah kucoba disediakan untuk menjamu kami. Namun, kurasa itu hanya
salah satu usaha dari pria itu agar Kakekku mau mengabulkan keinginannya.
“Ayolah
Hendra, ini kesempatan emas bagi kita. Kita akan kaya dalam sekejap.”
Mata
pria itu berbinar-binar saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Kakek untuk
kesekian kalinya kembali menggeleng menolak permintaan Paman Arul dengan sopan.
“Aku
tidak bisa bertaruh akan hidup lebih lama kalau melakukan pekerjaan itu Arul,
lagi pula Danang masih memerlukanku di sini,” ucap Kakek sambil
mengusap-usap kepalaku dengan lembut. Paman Arul menghela napas panjang dan
memandang ke arah dagangannya yang masih sepi pagi ini, tampak kekecewaan
disudut wajahnya yang membuatku ingin segera enyah dari hadapannya.
“Padahal
tidak ada driver lain yang mumpuni untuk membawa paket-paket
itu melewati garis perbatasan,” ucap Paman Arul sembari menyodorkan beberapa
lembar uang kepada Kakek bukti pembayaran barang yang kami bawa. Matanya
bergerak ke arahku, menangkap keluguan di wajahku. Kali ini pasti aku yang akan
dijadikan objek untuk merayu Kakek.
“Le, apakah kau sudah sekolah? Kelas
berapa?”
Aku
menggeleng lemah, sementara Kakek masih menghitung uang yang baru saja kami
terima.
“Memangnya
apa cita-citamu Le?,”
Mendapatkan
pertanyaan tiba-tiba begitu aku tersentak dari tempat dudukku. Kupandangi wajah
Kakek yang balas memandang kepadaku. Jujur aku tak pernah berpikir akan menjadi
apa setelah besar nanti. Terlalu sulit untuk membayangkannya. Hening, aku tidak dapat menjawab
pertanyaan itu. Kakek yang telah paham dengan kegelisahanku lalu segera angkat
bicara menjawab pertanyaan itu.
“Yang
jelas bukan tentara, Rul. Aku tak mau dia tewas di medan pertempuran seperti
putraku. Tetapi akan kupastikan dia yang nantinya akan menyelamatkan bangsa
kita ini dengan caranya sendiri.”
Paman
Arul tertegun sejenak, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak hingga matanya
berair. Aku masih membisu untuk mencerna jawaban yang barusan telah Kakek
katakan. Memang tidak ada yang lucu dari kalimatnya, tetapi juga tidak ada
kesimpulan yang kutangkap dari pernyataannya. Poinnya adalah Kakek tidak mau
aku menjadi tentara seperti ayahku. Dia ingin aku menyelamatkan bangsa ini yang
sedang dalam kondisi penuh teror bahkan sebelum aku lahir.
“Kau
mengkhayal terlalu tinggi Dra. Bagaimana mungkin anak yang tidak kau sekolahkan
ini dapat menyelamatkan bangsa kita yang telah terpuruk. Hah! Marilah berkerja sama denganku
untuk mengirim paket itu, dapatkan uangnya lalu sekolahkan cucumu itu
tinggi-tingginya.” Ucap Paman Arul dengan nada sarkasnya yang membuatku tersinggung.
Kakek menggenggam tanganku rapat-rapat, aku tahu dia juga merasa tersinggung
saat ini.
“Dia
cucuku Rul, pahamilah bahwa terserah aku mau kubagaimanakan dirinya. Sekolah
tak lagi aman hari ini. Ada laras senjata tertuju ke mana-mana meminta nyawa.
Belum lagi ideologi yang mereka cekoki ke otak anak-anak sekolah itu. Tidak
Rul, jangan sampai cucuku ikutan menjadi nasionalis buta ataupun ekstremis liar
dan memperparah keadaan negara ini.”
Kakek
berdiri dari posisinya, hendak menyelesaikan urusan ini lebih cepat. Aku
terperangah pada ucapan yang baru saja dia jelaskan panjang lebar tadi, terlalu
banyak kata yang tidak kumengerti dari kalimat beliau dan itu menggangguku.
“Biar
kuajari saja dia sendiri. Akan kutanamkan bagaimana cara bertahan hidup terbaik
pada masa seperti ini.” Lanjut Kakekku dengan wajah yang menebal karena kesal. Tangannya
menarik lenganku hingga mau tak mau aku ikutan berdiri mendampinginya hendak
keluar.
“Terima
kasih untuk upahnya, maaf kami tidak bisa lebih lama lagi ditempat ini, Rul.
Ayo Danang, kita segera ke pasar dan mencari buku kesukaanmu.”
Genggaman
tangan Kakek terlepas setelah dia yakin aku akan mengikutinya. Belum juga
ambang pintu kulewati, Paman Arul telah menyentuh pundakku dengan tiba-tiba.
Aku berpaling dari langkahku dan menatap wajahnya yang tersenyum padaku.
“Jaga
Kakekmu baik-baik , Le. Dia orang
yang hebat, jangan sampai seorangpun menyakitinya.” Ucapnya sambil melesakkan
sesuatu ke saku celanaku hingga terasa penuh dan berat.
Sebuah Pistol...!?
“Mereka
telah bilang kepadaku akan terjadi sesuatu hari ini, berhati-hatilah.”
Lanjutnya, lalu dalam sebuah kedipan mata singkat dia mendorongku untuk
menyusul langkah Kakekku kedalam pikap kami.
“Mereka
siapa?” gumamku.
--
Kakek
menyayangiku sejak kecil, dari tangannyalah aku hidup dan tumbuh karena kedua
orang tuaku memang tak pernah hadir dalam hidupku.
Mengenai Ayahku, bagaimana membayangkannya ya?
Kami
tidak memiliki fotonya karena terus berpindah-pindah tempat untuk menghindari
kekacauan akibat huru-hara yang melanda negeri kami sejak aku masih dalam
kandungan Ibuku. Yang melahirkanku dan menghembuskan napas terakhirnya setelah
itu. Aku bahkan juga tidak tahu seperti apa sebenarnya wajah Ibuku.
Saat
umurku menginjak tujuh tahun barulah Kakek menceritakanku tentang insiden yang
telah merenggut nyawa ayahku. Dia menceritakan tentang pemberontakan dan
orang-orang jahat yang bersembunyi di dalam hutan. Ayahku bertahan mati-matian
saat sedang berpatroli di garis depan, namun sayangnya bantuan datang terlambat
dan nyawanya tak terselamatkan.
Garis
depan itu seperti tembok dengan lubang tak kasat mata di sana-sini. Kota kami
yang seharusnya menjadi tempat paling aman tak lepas dari teror orang-orang
jahat itu. Aksi mereka meledakkan diri di tengah keramaian atau menyerang
secara tiba-tiba dan serentak membuat kota tak ada bedanya dengan medan
pertempuran yang sebenarnya.
Dan berbicara tentang ledakan, hari ini pun aku
mendapati banyak ledakan di kota.
---10:00, Geladak
Kembar Kota Jember.
Serangan
itu benar-benar menjadi nyata dan mendahului kepulangan kami. Desing peluru dan
suara ledakan terdengar bersahut-sahutan. Kepulan asap membumbung di antara
kendaraan-kendaraan yang macet total. Kami berlindung di sisi pikap menghindari
peluru nyasar yang bersiulan di atas kepala kami. Ketakutan semakin
menjadi-jadi setiap detiknya ketika pertempuran malah menjepit kami hingga
tidak ada sela-sela yang cukup aman untuk menjadi jalan pelarian.
“Inilah
mengapa aku menolak menjadi kurir senjata rakitan itu. Arul terlalu memikirkan
uang tanpa peduli dengan keselamatan orang-orang disekitarnya.” Seru Kakek
kepadaku dengan kekesalan dan kekhawatiran yang bercampur aduk di wajahnya.
Ditengah
suasana yang kacau balau itu. Tiba-tiba seseorang membekapku dari belakang dan
menarikku. Tangannya begitu kuat mengikatku hingga tak bisa melakukan
perlawanan. Sementara itu, tangannya yang lain memprovokasi Kakek dengan sebuah
pistol yang mirip dengan pemberian Paman Arul.
“Hentikan!
Mau kau apakan anak itu.”
“Diamlah
atau kutembak kau!”
Dia
menyeretku menjauh dari posisiku, sementara Kakek terdiam dengan kecemasan
menggantung di wajahnya. Tangan pria itu terlalu kuat mencengkramku hingga aku
tak bisa berbuat apa-apa. Aku telah membayangkan akan dibawa ke markas mereka
dan dicuci otaknya seperti cerita-cerita yang kudengar selama ini. Namun, tak
begitu banyak langkah yang kami buat sebelum sebuah peluru melesat menembus
lengannya dan membuatnya berteriak kesakitan.
Aku
segera melepaskan diri. Kakek menyambar pria itu dan mencoba melepaskan pistol
ditangan kanannya. Pertarungan itu tidak seimbang dengan kekuatannya, orang itu
berhasil melemparkan Kakek ke bumper
mobil di dekatnya dan membuatnya terkapar di atas aspal. Pria itu segera bangun
dan mengacungkan pistol digenggamannya ke kepala Kakekku.
“JANGAN!!!”
Dor!!!
Kejadian
itu terjadi begitu cepat dan tembakanku tepat mengenai kepalanya. Dia
tersungkur dari kedudukannya bersamaan dengan pandangan Kakek yang tertuju
kepadaku. Aku telah menyelamatkan Kakek sekaligus telah membunuh orang itu,
namun raut wajah Kakek yang sedang menahan rasa sakit membuatku sadar kondisi
beliau tidak benar-benar baik-baik saja.
“Da-nang”
Kedua
mata di wajah tua itu terpejam dan langit seakan semakin menyilaukanku. Aku
segera mendekati Kakek dan menyadari dia tak sadarkan diri akibat kejadian
tadi. Kebingungan melandaku dan kewaspadaanku semakin meningkat karenanya.
Kubidikkan pistolku dengan liar kesegala arah, sampai seorang pria lainnya
tanpa kuketahui kedatangannya menyambar pistol itu dan membekukku.
“Lepaskan
aku!” Rontaku dengan sengit, namun pria itu mengetatkan pegangannya.
“Nak,
tolong tenanglah. Kami akan menolong kalian sekarang,” Ucap pria itu didekat
wajahku hingga aku cukup yakin bahwa dia bukanlah orang jahat lainnya. Aku
terdiam mengikuti perintahnya. Beberapa pria lainnya dengan seragam
loreng-loreng turut berdatangan dengan tergesa-gesa mendekati kami. Dia
menyerahkanku pada pria lainnya setelah memastikan aku tidak akan bertindak
bodoh seperti tadi.
“Evakuasi
dua warga ini dari sini segera, yang lain rapatkan pengepungan. Ayo! Ayo!!”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ditulis oleh : Syauki Bagus Mahendra
0 Komentar