Cerita Pendek
Oleh: Ulfah Maisaroh - 4 Mei 2021
“Ayah… mau ke mana?
Aku ikuuut” suara anak kecil begitu nyaring sembari berlari menghampiri sosok
lelaki yang tengah menghidupkan starter motor buntutnya.
Dari kejauhan
seorang wanita paruh baya berlari kecil mengejar anak kecil itu lalu
menggendongnya. “Ayah mau berangkat kerja, nak.”
Seperti biasa, gadis
kecil itu merengek di teras rumah. Tiada hari tanpa rengekan bagi gadis kecil
berusia 5 tahun tersebut. Ia hafal betul
dengan suara motor sang ayah, minta ikut jika mendengar motor itu bersuara.
Ayahnya hanya tersenyum dan menghampiri putri mungilnya.
“Ayah berangkat
dulu, ya. Assalamualaikum cantik.”
Elusan tangan sang
ayah di kepala putrinya cukup menenangkan. Meskipun dengan mengusap sisa air
mata, ia tersenyum dan meraih tangan ayahnya untuk dicium. Sang ayah bergegas
pergi dengan semangat dan selalu membawa energi positif bagi orang di
sekitarnya.
“Wa
alaikumussalam. Hati-hati, Ayah..” Sambil melambaikan tangannya, ibu dan anak
itu tersenyum.
***
Kini gadis mungil
itu tumbuh dewasa, namun masih tidak berubah sifat manjanya terhadap sang ayah.
Masih sama seperti dulu, ia selalu bertanya “ke mana ayah akan pergi?” saat
mendengar suara motor ayah yang khas.
Kehidupan pasti
diiringi dengan suka dan duka. Ayah yang ia sayangi menderita sakit yang cukup
parah, sehingga mengharuskannya untuk melakukan hemodialisa secara rutin 2 kali tiap minggu. Jarak rumahnya dengan
rumah sakit bisa dibilang jauh. Sebagai seorang istri yang berbakti kepada
suami, ibunya selalu mengantar sang ayah dari sore hingga malam datang.
Sosok ayah yang
selalu bersemangat dan selalu menyalurkan energi positif, kini banyak murung.
Tubuhnya kering kerontang, tetapi ia tetap berusaha terlihat bahagia di depan
putrinya. Bersenda gurau seperti biasanya.
Hari demi hari,
bulan demi bulan, hingga tahun demi tahun telah berlalu. Keluarga kecil
harmonis yang hidup dalam kesederhanaan kini mendapat kabar bahagia. Putrinya
yang telah tumbuh dewasa, akan menjadi seorang mahasiswa.
“Ibu, Ayah,
Alhamdulillah. Aku lolos seleksi kuliah, aku bisa kuliah.”
Haru suara tangis
mengiringi kebahagiaan mereka. Tampak wajah senang bercampur khawatir di wajah
sang ayah.
“Ayah tidak perlu
khawatir, aku dapat beasiswa. Jadi ibu dan ayah tidak perlu khawatir.” Gadis
yang tengah tumbuh dewasa itu mencoba meyakinkan kedua orang tuanya supaya
tidak khawatir dengan biaya kuliah yang mahal itu.
***
Sudah 3 semester
pendidikan yang ditempuh gadis tersebut. Hampir setengah perjalanan. Hingga
suatu ketika, Ring ring ring. Suara
teleponnya berbunyi. Tertulis nama Ibu di layar dan ia bergegas untuk
mengangkatnya.
“Haloo… Nak” sang
ibu terbata-bata sambal menahan tangis. Saat itu memang kondisi sang ayah
sangat drop sehingga mengharuskannya untuk dirawat di rumah sakit. Membuat
pikiran dan hati sang putri gelisah.
“Halo, Ibuk.
Kenapa?” gadis itu masih berusaha berpikir positif.
“Ayah sudah tidak
ada, Nak.”
BLAKK.
Hpnya terjatuh, ia
sudah tidak berdaya. Tangisan pecah memenuhi ruangan sempit yang dipenuhi
dengan buku-buku yang ia pakai untuk kuliah. Tak lama para tetangga datang
menghampiri gadis tersebut untuk menenangkan dan berbela sungkawa.
Hingga tiba
ambulance datang, membawa sang ayah untuk segera dimakamkan dengan semestinya.
Saat hendak disalatkan, si gadis memaksa melihat wajah sang ayah untuk terakhir
kalinya. Raut wajah itu seolah mengatakan, “Nak, sudah selesai tugas ayah
membimbingmu. Percayalah, kamu akan jadi manusia yang berguna.”
***
Puk puk.
Seseorang menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan itu.
“Nduk, sudah mau maghrib. Ayo masuk, nggak baik perawan di luar rumah jam
segini. Lagian dari tadi kamu di teras, tatapanmu kosong. Nanti kesambet.”
Sembari mengusap
air mata, aku tersenyum pada ibu dan bergegas untuk masuk. Ibu tidak bertanya
mengapa aku mengeluarkan air mata. Beliau tahu betul, bahwa putrinya ini sedang
rindu pada ayahnya di surga.
Kenangan-kenangan
itu tersimpan rapi di memori otakku. Ayah, semoga engkau berada di tempat
terbaik. You are my hero.
0 Komentar