Janji Berujung Ironi:
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
Judul : Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Isi : ix + 248 halaman
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
ISBN - 13: 978 – 979 – 91 – 0363 – 5
Cetakan : Juni 2011
“…kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang biasa menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu….Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat….”
Penggalan narasi tersebut
merupakan bagian yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer berupa pesan sekaligus
pengingat kepada para pembacanya. Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
merupakan kumpulan catatan sejarah mengenai perempuan remaja Indonesia yang
dijadikan budak seks oleh tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Dalam
penyajiannya, kumpulan catatan ini dikemas dalam bentuk novel yang informasinya
berasal dari keterangan teman-teman Pram ketika berada di tempat pengasingan,
tepatnya di Pulau Buru, Maluku, serta dari hasil pelacakan dan wawancara langsung
yang dilakukan Pram terhadap para korban budak seks yang ditinggalkan begitu
saja oleh Jepang sejak kemerdekaan Indonesia pada 1945 silam.
Diceritakan pada tahun 1943,
terjadi serangan besar-besaran oleh pihak Sekutu di Asia Tenggara sehingga
membuat balatentara Jepang terdesak dan mengakibatkan kesulitan hubungan udara
dan laut antara balatentara Jepang yang tersebar Asia dengan Jepang. Kesulitan
hubungan tersebut membuat balatentara Jepang tidak bisa lagi mendatangkan
wanita penghibur dari Jepang, Cina, dan Korea. Oleh karena itu mereka
mengangkut para gadis Indonesia untuk dijadikan sebagai wanita penghibur.
Ironisnya, pengangkutan itu
dilakukan dengan janji bahwa mereka akan menyekolahkan para perawan remaja
(begitulah penyebutan Pram untuk gadis-gadis korban kejahatan tentara Jepang saat
itu) ke Jepang, tepatnya ke kota Tokyo dan Shonanto. Janji tersebut tak pernah
tercatat melalui pengumuman di koran atau barang cetak lain, hanya berupa
desas-desus saja. Para pejabat negara seperti Kepala
Desa, Ketua RT, dan Kepala Residen, mereka semua diberi propaganda untuk
melepas dan mengizinkan putri mereka guna menuntut ilmu. Hal tersebut merupakan
sebuah keharusan. Apabila mereka melanggar, Jepang mengancam akan melepas
jabatan mereka. Tentu saja putri para pejabat tersebut berbangga hati dengan
alasan mereka akan mengejar cita-cita dan menjadi orang yang dapat bermanfaat
bagi bangsa Indonesia.
“…waktu telah naik mereka
nampak gembira. Ada yang menyanyikan lagu-lagu Jepang, lagu-lagu sekolahan,
atau mars militer yang bersemangat, Dan di kapal terdengar mereka
tertawa-tawa.” -hal.31
Namun faktanya mereka tidak
pernah sampai di tujuan yang ada di angan mereka. Alih-alih menuntut ilmu dan
mengejar cita-cita, mereka malah dijadikan budak bagi para tentara Jepang yang
haus akan seks. Mereka dijemput oleh tentara Jepang di rumah masing-masing
untuk selanjutnya diangkut menggunakan kapal laut meninggalkan Pulau Jawa dan
diturunkan di berbagai daerah di Indonesia. Menurut keterangan dari salah
seorang perawan remaja yang berhasil meloloskan diri, mereka digiring
turun-naik gunung-gemunung untuk kemudian dimasukkan ke dalam perut benteng
bawah tanah yang terletak di kaki Gunung Pala(t)mada. Di sini para gadis remaja
tanpa pengalaman itu diserahkan pada keganasan serdadu-serdadu Dai Nippon. Tak
seorang pun yang dapat menolong mereka. Di sini mereka kehilangan
segala-galanya: kehormatan, cita-cita, harga diri, hubungan dengan dunia luar,
peradaban, dan kebudayaan-suatu perampasan total.
Ketika Jepang menyerah kepada
Sekutu pada 1945, para perawan remaja ini ditelantarkan begitu saja dan tidak
dipulangkan ke Jawa sehingga mereka terpaksa bertahan hidup di daerah yang sama
sekali asing bagi mereka. Ada yang beruntung bisa menikah dan hidup dengan
aman, namun tak sedikit juga yang harus menjalani hidup dengan kemalangan dan
terikat dengan adat yang berlaku. Mereka
diserahkan pada naluri hidup masing-masing dan tidak mendapatkan pelayanan dan
perlindungan hukum dari Pemerintah RI dan sebagai akibatnya, sampai 1979 atau
sekitar 35 tahun, mereka menjadi buangan yang dilupakan.
“Dari keterangan seorang teman lain yang
pernah bicara dengannya, ternyata ibu yang setua dan serapuh itu tidak luput
dari siksa dan aniaya sampai darahnya berlelehan dari tubuhnya, hanya karena ia
ketahuan telah berbicara dengan bahasa yang tidak dikenal oleh lingkungannya,
adatnya, atau berhubungan dengan orang-orang dari seberang. Wanita tidak boleh
bicara dalam bahasa apa pun kecuali bahasa Buru.” -hal.108
Meskipun setelah itu ada yang menawarkan mereka
untuk pulang ke Jawa, tetapi mereka tidak mau karena sudah terlanjur terikat
dengan perjanjian adat. Selain itu, rasa malu yang teramat besar terhadap
keluarga menjadikan mereka enggan untuk berpulang ke Jawa.
“Jangan Anak bersusah-payah naik kemari.
Ibu kasihan pada kalian. Katakan pada semua orang, Ibu hanya nama saja memakai
Jawa, sedang asal Ibu adalah Buru.” -hal.104
Novel ini menceritakan secara detail mengenai
gambaran suasana yang dihadapi oleh perawan remaja pada saat itu, bagaimana
sistem patriarki menebas habis jiwa para perawan remaja ini tak hanya fisik,
namun juga psikis. Novel ini sangat menarik karena mengungkap sisi lain dari
penjajahan Jepang ketika Perang Dunia II yang jarang diceritakan. Namun
sayangnya alur cerita di dalam novel ini sedikit rancu dan banyak bagian yang
diulang-ulang, karena memang didapat dari berbagai macam catatan dan kebanyakan
dengan cerita yang sama. Banyaknya pemakaian Bahasa Buru dalam penulisan
percakapan langsung membuat novel ini sedikit sukar untuk dipahami, namun sisi
positifnya adalah keaslian cerita dapat terjaga.
Penulis resensi: Lolita Aurensia Franelsa
0 Komentar