Orang tua pemaksa atau pushy parents adalah suatu fenomena
sosial yang umum ditemukan di sekitar kita. Orang tua pemaksa adalah suatu
keadaan ketika orang tua memaksakan kehendak atau keinginan yang ia miliki
terhadap anaknya tanpa kemauan atau persetujuan dari sang anak. Contoh fenomena
orang tua pemaksa sangat beragam di Indonesia, mulai dari memaksa anak
mengikuti les pelajaran tambahan, melarang anak bermain, memaksakan cita-cita
tertentu kepada anak, bahkan memaksa anak menikah dengan orang yang tidak ia
sukai.
Beragam masalah dapat timbul akibat pemaksaan berlebih yang
dilakukan oleh orang tua. Dalam artikelnya yang berjudul “When to Push A
Child and More Important, When Not to”, dr. Stuart Shanker menyatakan bahwa
pemaksaan berlebih dapat menyebabkan gangguan pada anak seperti mudah stres,
sering cemas, tidak percaya diri, dan bahkan mengalami masalah kesehatan. Orang
tua selaku pihak yang memaksa dapat merasa tertekan, sedih, marah, dan bahkan
mengalami kekecewaan bila anak menolak dan atau tidak berhasil memenuhi
keinginan orang tua. Dalam kondisi terburuk, pemaksaan yang berlebih dapat
menyebabkan kerenggangan hubungan antara orang tua dan anak bahkan KDRT.
Fenomena ini, beserta masalah yang ditimbulkan sejatinya tidak akan
muncul apabila orang tua tidak memaksakan kehendaknya secara berlebih kepada
anak. Namun, begitu seringnya pemaksaan terjadi di lingkungan sekitar
menyebabkan pertanyaan timbul, mengapa orang tua seringkali melakukan pemaksaan
kehendak terhadap anak-anaknya? Berdasarkan hasil penelitian yang ia lakukan di
bidang psikologi, Brad. B. Bushman, seorang profesor di bidang komunikasi dari
Ohio State University menyatakan bahwa alasan orang tua memaksakan kehendaknya
kepada anak adalah karena orang tua melihat anak sebagai bagian dari dirinya
sendiri bukan sebagai pribadi individu tersendiri. Oleh karena itu, orang tua
berharap agar anaknya mampu mewujudkan impian atau ambisi yang gagal diraih oleh
orang tua. Tak bisa dipungkiri, alasan orang tua memaksa anaknya adalah karena
perasaan sayang. Namun, wujud kasih sayang berupa paksaan merupakan hal yang
salah dan keliru.
Lantas, bagaimana sikap yang harus diambil oleh orang tua dan anak? Dalam
menghadapi masalah ini, orang tua seharusnya memikirkan kebahagiaan sang anak.
Orang tua tidak boleh melarang apapun keinginan anak selama keinginan tersebut
merupakan hal positif. Anak sebagai pihak yang menolak, harus bisa memberikan
alasan yang jelas dan mampu memberikan gambaran kepada orang tua apa keinginan
dan cita-cita yang ingin anak raih. Kedua belah pihak harus saling menghargai
dan menyadari perannya masing-masing. Anak tanpa dukungan orang tua tentu akan
sulit mewujudkan cita-cita yang ia inginkan. Orang tua tentunya bangga melihat
anaknya sukses walaupun jalan yang ditempuh tidak sesuai dengan harapan orang
tua.
*Penulis merupakan mahasiswa S1 Biologi 2018. Saat ini tercatat sebagai anggota divisi redaksi LPM basic 2020.
2 Komentar
Aku sudah belajar berhari hari dan saya mendapat nilai yang lumayan bagus yaitu diatas 79 tetapi mengapa orang tua malah memarahi saya, dan saya juga tidak pernah diberi hadiah oleh orang tua saya?
BalasHapustidak usah dipikirkan apa kata ortu kl sekiranya malah bikin kita down, mereka sayang, cuma meluapkannya yg salah. fokus sm diri sndiri buktikan kl kita bisa lbih baik. masalah hadiah nnti jg dateng sndiri kl kita tekun dan baik melakukan suatu hal psti akan ada timbal baliknya, ntah dr org lain atau rasa bahagia kita krna sudah mencapai goals yg diinginkan. hadiah itu sesimpel bersyukur msih ada org2 yg sayang sm kita, kita bisa sekolah, sdikit demi sdkit goals kita tercapai. itulah tahapan hidup. jgn hanya krna ortu kita jd stuck dan bersedih, tunjukan kita bisa..
BalasHapus