Oleh: M. Ravidianto
Leila S. Chudori, mantan Redaktur Senior Majalah Tempo, pada tahun 2017 kemarin telah merilis novel dengan judul Laut Bercerita. Leila memiliki hobi menulis sejak kecil. Sebelumnya, tahun 2012, Leila menerbitkan novel berjudul Pulang, yang sekaligus membawa pulang penghargaan dari Kulasa Sastra Khatulistiwa dengan kategori prosa. Novel Laut Bercerita sering dijadikan bahan diskusi bedah buku, ditambah lagi novel ini juga divisualisasikan dalam film pendek.
Novel Laut Bercerita dinarasikan oleh Leila dari sudut pandang kakak-beradik, kemudian diikuti latar dan tahun sebagai kronologi. Tahun yang dinukil sebagai cerita dalam novel ini adalah dari 1991 sampai 2007. Meskipun novel ini merupakan sebuah karya fiksi, penggambaran tragedi kelam 1998 bangsa Indonesia seakan-akan nampak nyata dalam setiap narasinya. Leila menyentuh perasaan pembaca dengan melihat dari sisi keluarga dan sahabat yang mengalami kehilangan sosok yang disayangi dalam lingkarannya. Selain itu, pembaca diajak melihat peristiwa penyiksaan yang dilakukan oleh sekelompok orang kepada tokoh utama dan kawan-kawannya.
Laut Bercerita
Biru Laut merupakan nama tokoh utama dalam novel Laut Bercerita. Ia mempunyai adik yang bernama Asmara Jati. Laut digambarkan sebagai seorang aktivis mahasiswa di zaman Orde Baru. Kala itu, Laut dan kawan-kawannya gemar membantu mengadvokasi rakyat yang tertindas dan melakukan penuntutan kepada pemerintah atas ketidakadilan yang terjadi. Rancangan perlawanan yang diberikan oleh Laut dan kawan-kawannya sering dirumuskan dalam markasnya, yaitu organisasi Winatra dan Wirasena.
Penculikan aktivis sering terjadi. Hal ini diindikasi karena para aktivis tersebut kerap melakukan perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru atas kebijakan yang menimbulkan ketimpangan. Pada 13 Maret 1998, Laut dan kawan-kawannya diculik, disekap dan disiksa oleh sekelompok orang. Kemudian pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto, yang menjabat selama lebih dari tiga dekade, akhirnya lengser. Namun, Laut masih belum kembali.
Asmara dan kedua orang tuanya di rumah menunggu kedatangan Laut. Setiap hari Minggu keluarga Laut selalu melakukan rutinitas makan bersama. Namun, Laut tak kunjung muncul dalam rutinitas tersebut. Asmara selalu merindukan kakak semata wayangnya tersebut.
Laut dibawa ke tengah laut dengan sekelompok orang yang gemar menyiksanya. Laut dibunuh dengan cara ditenggelamkan ke dasar laut dalam kondisi diborgol. Siapapun tak ada yang tahu mengenai peristiwa pembunuhan ini, kecuali pembunuh dan Tuhan.
Kawan-kawan Laut ada yang dikembalikan dan ada pula yang berakhir seperti Laut, yakni dibunuh. Sementara itu, Asmara dengan kedua orang tuanya dan kawan-kawan Laut, yang sudah kembali, tetap menunggu kedatangan maupun kabar mengenai Laut dan kawan-kawannya yang belum kembali. Mereka larut dalam rasa kehilangan, kesedihan yang mendalam dan ketidakpastian. Waktu terus bergulir. Kerinduan yang sudah menumpuk tiap tahun tak kunjung selesai. Asmara semakin sedih, bapaknya kini sudah tiada karena sering sakit-sakitan.
Kala sampai 2007, Asmara dan ibunya dengan memakai baju hitam dan membawa foto Laut di bawah payung hitam berjejer bersama keluarga korban yang lainnya di depan istana negara, setiap Kamis. Mereka menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas kasus penghilangan secara paksa ini atau setidaknya pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti ini harap tidak terjadi lagi untuk ke depannya.
“Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan.” Laut Bercerita (Hal. 256)
0 Komentar