![]() |
Illustrasi : Suyanti |
Oleh:
Widya Ayu Mangesti*
Era digital: “tiada
hari tanpa gadget” saat ini sangatlah
luar biasa. Semua terlihat canggih. Gawai (gadget–red)
yang terhubung dengan internet maka semuanya tampak begitu mudah dan cepat. Begitupun
penyampaian informasi atau komunikasi. Hanya dengan satu atau dua klik saja,
apapun bisa tersampaikan, entah itu untuk hal positif maupun hal negatif. Berdasarkan
uraian tersebut dapat dikatakan bahwa telah terjadi revolusi dalam proses
komunikasi antar manusia.
Kehadiran internet
sebagai bentuk media baru (new media)
membentuk pola baru komunikasi antar masyarakat. Dennis Mcquail, seorang
ilmuwan komunikasi terkemuka, menyebut satu perubahan yang paling penting ialah
meningkatnya interaksi komunikasi antara pengguna satu
dengan yang lain. Kondisi ini dijelaskan lebih lanjut oleh ilmuwan lain,
Martin Lister dkk. Menurutnya, media baru menawarkan keaktifan yang tidak bisa
diberikan oleh media tradisional (pasif). Aspek interaksi
komunikasi ini menjadi karakter utama bagi media baru.
Media sosial (social network) sebagai salah satu
bentuk media baru menjadi fenomena di dunia termasuk di Indonesia dengan
peningkatan jumlah yang sangat drastis. Data dari perusahaan We Are Social pada tanggal 26 Januari
2017 menyebut adanya peningkatan terkait jumlah pengguna sosial media di
Indonesia, yaitu yang awalnya berjumlah 79 juta pengguna (Menurut data Asosiasi
Pengguna Jaringan Internet Indonesia (APJII) per Januari 2016–red) meningkat
menjadi berjumlah 106 juta pengguna. Jumlah ini diperkirakan akan terus
bertambah seiring dengan makin beragamnya fitur media sosial yang bisa
dimanfaatkan penggunanya. Beragam penelitian tentang motif penggunaan media
sosial menunjukkan berbagai keleluasaan yang diperoleh pengguna seperti dalam
mencari informasi alternatif, berkomunikasi dengan rekan jauh, atau sebagai
ruang eksistensi diri.
Secara konsep,
peran dasar media sosial untuk berbagi informasi, komunitas virtual, dan forum
diskusi. Peran tersebut dapat dicapai karena sifatnya yang partisipatif,
terbuka, mendorong percakapan, komunitas, dan hubungan
antar pengguna. Media sosial memungkinkan semua pengguna menjadi produsen
informasi, menyajikan ruang terbuka untuk merespon informasi, pada akhirnya
dapat membangun komunitas virtual yang diwarnai diskusi di ruang maya.
Penelitian menunjukkan adanya peningkatan intensitas diskusi di berbagai
bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, maupun politik.
Di media sosial
semua orang bebas mengeluarkan pendapat atau apapun yang dia ingin utarakan.
Hal ini sesuai dengan hak warga negara yang memiliki kebebasan untuk
berpendapat dan dapat dilihat dalam undang-undang yang mengaturnya yaitu pasal
28 E UUD 1945 ayat 3. Dimana berisi bahwa “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Namun, kebebasan
berpendapat maupun berdiskusi di media sosial menyiratkan beberapa dampak
negatif. Salah satu yang dipotret ialah hadir dan meningkatnya intensitas
ujaran kebencian (hate speech).
Secara sederhana, Komunitas Uni Eropa mendefinisikan konsep ini merujuk pada
ekspresi yang menghasut, menyebarkan, membenarkan kebencian yang biasanya
berkaitan dengan suku ras dan agama. Ujaran kebencian adalah bentuk dari sikap
intoleran pada kelompok masyarakat lain. Pandangan lain melihat dampak
lanjutnya yang menganggap ujaran kebencian sebagai ungkapan yang menyerang dan
mendorong terjadi kekerasan.
Wacana ujaran
kebencian ini semakin serius manakala banyak kasus kekerasan yang terjadi
akibat provokasi via media sosial. Sebagai contoh kasus pembakaran masjid
Tolikara di Papua menimbulkan keributan yang
meluas karena simpang siurnya informasi di media sosial. Kalimat bersifat SARA
yang menyerang leluasa ditemukan. Bentuk lain, ialah provokasi yang dilakukan
pendukung Persija Jakarta saat pertandingan antara Sriwijaya lawan Persib
Bandung. Hasutan melalui media sosial mendorong aksi pengrusakan dan
penyerangan aparat. Ditambah lagi, dengan contoh kasus sederhana yang sering
kita lihat di dunia maya yaitu hujatan-hujatan kecil pada kolom komentar entah
itu pada akun publik figur, selebgram, maupun masyarakat pada umumnya.
Merespon banyakya
kasus yang diakibatkan oleh ujaran kebencian, Kepolisian Republik Indonesia
menerbitkan surat edaran yang mengatur tentang hate speech, atau ujaran kebencian. Terbitnya surat edaran ini
mendapat respon beragam. Sebagian mendukung dengan alasan intensitas ujaran
kebencian yang makin mengkhawatirkan. Di satu sisi, ada juga yang
memperingatkan kejelasan surat
tersebut agar tidak menjadi instrumen aparat untuk membatasi kebebasan
berpendapat.
Esensi Kehidupan
demokratis dicirikan oleh penghormatan kebebasan berekspresi sekaligus melarang
penyerangan terhadap hak individu. Kondisi dilematis ini mendorong pertanyaan
klasik namun urgen, Bagaimana upaya menjaga kondisi kebebasan berpendapat tanpa
menimbulkan ekspresi kebencian yang menyerang hak orang lain? Dan apakah cukup
dengan adanya surat edaran Kepolisian Republik Indonesia dapat meminimalisir
adanya cyber bullying berupa hate speech di media sosial?
Mengantisipasi
posisi dilematis (terkait upaya menjaga kondisi kebebasan berpendapat tanpa
menimbulkan ekspresi kebencian–red) tersebut, berbagai negara mengatur wacana
ujaran kebencian secara eksplisit. Isu ini dinilai sangat serius sehingga
mendapat perhatian penuh pula dari negara bahkan sebelum boomingnya media
sosial. Sebagai contoh yaitu pada negara Uni Eropa, Afrika Selatan, maupun Amerika
yang notabene kita ketahui merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi akan
paham ‘kebebasan’.
Mengenai hal itu,
puncaknya disampaikan oleh PBB melalui International
Committee on the Elimination of Racial Discrimination mengatur secara jelas
tentang ujaran kebencian dalam kerangka penghormatan pada hak asasi manusia tentang
martabat dan kesetaraan.
Dalam konteks
masyarakat digital, kita dapat melihat bahwa ada potensi kedepannya hal
mengenai ujaran kebencian ini akan semakin masif terjadi. Oleh karena hal itu, upaya konkrit
pemerintah untuk mencegah hal ini terjadi dianggap perlu. Namun, tidak hanya
bermodal itu saja melainkan juga harus diimbangi dengan pemberian pemahaman
kepada masyarakat luas terkait bagaimana cara menjadi masyarakat digital yang
cerdas.
Menjadikan
masyarakat yang tak hanya melek teknologi namun juga cerdas dalam ‘berperilaku’
di dunia maya bukan suatu perkara yang mudah. Namun, hal ini dapat dicapai
dengan cara memberikan pemahaman lebih terkait pendidikan kewarganegaraan.
Dikarenakan menurut United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization (UNESCO), tujuan diberikannya pemahaman
lebih terkait pendidikan kewarganegaraan yaitu meningkatkan kesadaran akan hak
sosial budaya dan politik individu dan kelompok, termasuk tentang kebebasan
berpendapat beserta konsekuensi yang didapatkan. Dimana usulan ini diharapkan
kedepannya dapat menciptkan masyarakat digital yang cakap dan toleran.
0 Komentar