Tak terasa sudah tiga tahun berlalu, sekarang penulis menginjak semester
tujuh. Saat keinginan untuk lulus bertambah atau mungkin berkurang. Saat
desakan orang tua dan dosen agar segera hengkang dari dunia kampus semakin
meningkat. Saat wajah semakin asing dilihat oleh adik-adik mahasiswa baru yang
notabene angkatan termuda di kampus. Kampusku kampus biru, sebutan dari
orang-orang terdahulu yang merupakan sesepuh-sesepuh kampus, namun sudah
hengkang dari dunia kampus. UB, kampus yang menduduki peringkat ke-empat versi University
Web Ranking dan webometrics di Indonesia.
Sebuah program akan berhasil jika didukung oleh keselarasan antarkedua
belah pihak, yaitu pembuat dan pelaksana program. Di kampus, pembuat program ialah kalangan birokrat
serta beberapa mahasiswa yang terjun dalam dunia ‘birokrat-birokratan’ sedangkan pelaksana program yaitu mahasiswa – mahasiswa yang tidak terjun
dalam dunia birokrat-birokratan tersebut.
Sejak awal tahun 2013, kampus ini mencanangkan
dirinya sebagai kampus Enterpreneur sehingga dalam setiap
bidang termasuk Pertanian, Peternakan, serta Perikanan harus dan wajib dibekali
dengan kemampuan entrepreneurship. Hal ini bertujuan salah satunya untuk menunjang karir dari mahasiswa – mahasiswa supaya dapat
menciptakan lapangan perkerjaan. Namun pada tahun 2015 yang lalu, kampus ini
menambah satu lagi program yang sangat sulit untuk dilakukan yaitu Green Campus. Kesulitan ini menjadi sebuah ironi kala lahan yang sempit terus ditumbuhi oleh rangka-rangka baja berbentuk gedung-gedung
bertingkat yang semakin banyak bertebaran di kampus ‘tercinta’ ini.
![]() |
Gambar 1.Persentase bidang yang diminati oleh mahasiswa MIPA |
Sejak tiga tahun ini, MIPA lebih banyak menerjunkan
mahasiswa-mahasiswanya dalam berbagai lomba yang dikhususkan dalam bidang sains.
Berbagai perlombaan seperti Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS) diikuti untuk
menambah semangat mahasiswa MIPA dalam berkarya. Namun, tidak semua aktifitas ini berjalan selaras
karena keinginan, minat, serta paksaan seringkali berbenturan. Hal tersebut dapat terlihat dari data yang diambil pada awal tahun
2016 dan diambil menggunakan metode random
sampling tanpa melihat jurusan, jenis
kelamin, agama, angkatan, maupun keaktifan di
organisasi.
Setiap responden berhak memilih lebih dari satu pilihan. Dari 100
mahasiswa yang disurvey, sebanyak 22 % memilih olahraga, 17 % memilih
keorganisasian atau seni, 15 % memilih keilmuan, 11 % memilih kerohanian, 9 %
memilih kewirausahaan, 4 % memilih sastra, 3 % memilih jurnalistik, dan 2 %
memilih lainnya. Beberapa hal yang mendasari lebih banyaknya minat olahraga
daripada keilmuan dikarenakan banyak mahasiswa MIPA yang sudah jenuh untuk
melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan perkuliahan. Hal tersebut dapat
terlihat dengan banyaknya kegiatan-kegiatan keolahragaan yang banyak diminati
oleh mahasiswa MIPA seperti Pekan Olahraga Maba (PORMABA), Olimpiade Brawijaya
(OB), serta event-event olahraga
lainnya. Selain itu, minat mahasiswa dalam seni cukup tinggi dengan alasan yang
sama seperti minat olahraga. Hal itu terlihat dari banyaknya kegiatan yang berkaitan
dengan kesenian seperti menari, bernyanyi, bermusik, dan lain sebagainya. Dari
kedua jenis minat tersebut, dapat diperoleh hasil bahwa banyak mahasiswa MIPA
yang memiliki bakat dalam bidang olahraga dan seni. Data yang mencengangkan
yaitu sebanyak 9 % mahasiswa dari jumlah 100 responden berminat dalam bidang
kewirausahaan, sehingga dapat dikatakan minat mahasiswa MIPA dalam berwirausaha
rendah. Hal itu dikarenakan masih sedikitnya dorongan – dorongan dari pendidik agar mahasiswa
dapat berwirausaha sehingga program UB sebagai Enterpreneur University dapat diwujudkan.
Setiap mahasiswa memiliki beragam alasan saat menjalani kehidupan di
dalam kampus. Berbagai macam tipe mahasiswa sangat banyak bertebaran dan menjadi perbincangan ringan. Tipe-tipe
tersebut memunculkan strata sosial antar kehidupan
mahasiswa satu dengan lainnya. Sebut saja, mahasiswa kupu-kupu, mahasiswa
kunang-kunang, mahasiswa kura-kura, dan masih istilah-istilah lain untuk memisahkan genre antar mahasiswa. Fenomena sosial
yang cukup menarik, namun tidak menimbulkan pro dan kontra yang berkelanjutan. Pun di Fakultas MIPA, hal
tersebut tidak menimbulkan perpecahan antara mahasiswa ‘aktif’ dengan’pasif’. Semua lembaga di MIPA disebut
Lembaga Kedaulatan Mahasiswa (LKM), Lembaga Otonomi Fakultas (LOF), dan Lembaga
Semi Otonom (LSO) yang ketiganya memiliki struktur masing-masing.
Seperti yang terungkap dalam gambar 1, lebih banyak mahasiswa MIPA berminat
dalam bidang olahraga, seni, keilmuan, dan kerohanian. Namun, apa benar minat dan bakat tersebut
diiringi oleh ketersediaan lembaga-lembaga di Fakultas MIPA? Seperti yang terlihat pada gambar 2, sebanyak 78 %
responden memilih ya sedangkan 22 % nya memilih tidak. Pada responden yang
memilih tidak, bermacam alasan diutarakan seperti kurangnya ketertarikan
mahasiswa pada lembaga-lembaga yang bersangkutan.
Bahkan, lembaga- lembaga tersebut hanya
memiliki beberapa minat yang ternyata tidak semua mahasiswa meminatinya. Sebut
saja SOBAT,
lembaga yang mewadahi mahasiswa MIPA dalam olahraga dan seni. Namun ternyata,
tidak semua olahraga dan seni yang terwadahi sehingga membuat beberapa mahasiswa MIPA mengikuti lembaga
luar fakultas seperti UKM dan sebagainya. Beberapa di antaranya pun justru membentuk
komunitas sendiri seperti komunitas Sepeda, orkestra, dan lain-lain. Selain itu, kurangnya minat mahasiswa MIPA untuk
berpartisipasi langsung dapat mengakibatkan berkurangnya generasi-generasi
mahasiswa militan yang setia dan loyal untuk membangun eksistensi lembaga-lembaga tersebut. Tak
dapat dipungkiri, setiap tindakan maupun kebijakan akan berimbas pada generasi-generasi muda termasuk
mahasiswa agar senantiasa peduli terhadap kemaslahatan bersama. (gpw)
0 Komentar