Breaking News

Manusia, Alam, dan Paradigma

 

Sumber: deviantart.com

Oleh: Achmad Hanif Naufal

Perkembangan signifikan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap lingkungan hidup. Pada satu sisi, banyak yang terbantu dengan mendukung adanya kemajuan ini. Akan tetapi, di sisi lain, tidak menutup kemungkinan,  hal tersebut sejatinya malah memberikan keprihatinan bagi stabilitas alam. Pencemaran ekosistem, perampasan  keanekaragaman hayati, hingga isu pemanasan global menjadi permasalahan yang serius. Tercatat sebanyak 318 daerah aliran sungai (DAS) seluas 3 juta Hektare berada dalam konsidi yang sangat buruk. Laju kerusakan hutan meningkat hingga 1,8 juta hektare per tahunnya, disusul dengan keragaman spesies yang mulai terancam akibat eksploitasi yang tidak terkontrol. Tidak hanya itu, pengerukan bumi untuk industri pertambangan makin liar, mendegradasi vegetasi dan menyebabkan berubahnya komposisi tanah akibat limbah pertambangan (Sutoyo, 2013). Rusaknya tatanan kehidupan seperti ini akan  mengancam peradaban dan hanya dapat disadari oleh mereka yang memiliki penyadaran diri, yakni manusia.

Berbagai ilmuwan modern memandang masalah lingkungan sebagai kasus objektif, sehingga tak ada hentinya mereka mengembangkan teknologi mengikuti urgensi permasalahan yang ada. Pasalnya, pendewasaan teknologi tanpa kritik ekosofis justru mereduksi kemampuan refleksi historis manusia atas persepsinya terhadap alam. Pernyataan ini dibenarkan oleh Saras Dewi dan Robertus Robert dalam seminar telaah disertasi filsafatnya yang bertema Manusia dan Lingkungan (Abdalla, 2013). Ketergantungan manusia terhadap alam tidak terlepas atas dasar bahwa manusia merupakan makhluk egosentris sekaligus ekosentris (Sugiharto & W., 2000), sehingga fenomena tersebut melampaui fakta bahwa usaha romantisisme manusia dalam memahami lingkungan secara ontologis masih berlangsung hingga saat ini (Keraf, 2014). Fritjof Capra (2001) menegaskan perlunya pemahaman kehidupan atas ekologi holistik, yang berusaha menempatkan manusia dalam tatanan ekosistem. Pemahaman seperti ini dapat diharapkan melalui peran pendidikan dalam membangun konstruksi pemikiran yang utuh dan kritis.

Sonny A. Keraf (2014) merentangkan tingkat pandangan eksistensi ekologi dan manusia pada tiga paradigma teori etika lingkungan, yakni etika lingkungan dangkal (shallow environmental ethics) atau antroposentrisme, etika lingkungan medium (intermediate environmental ethics) atau biosentrisme, dan etika lingkungan dalam (deep environmental ethics) atau ekosentrisme. Antroposentrisme berkaitan dengan penempatan posisi moral, instrumentalisasi alam, dan hak aristokrat biologis atas manusia. Tingkat tengah ada biosentrisme yang merupakan penyeimbang antara komponen-komponen alam yang saling memiliki ketergantungan dan relasi, sehingga segalanya patut dihargai. Tingkat tertinggi ada Ekosentrisme yang merupakan pemusatan alam dan seluruh komponen alam baik biotik maupun abiotik sebagai sumber nilai dan acuan moral tanpa terkecuali.

Di antara ketiga paradigma ini, hidup manusia-manusia yang masih memperjuangkan moral maupun aristokrasi saja. Seakan  gaungan mahasiswa tidak pernah terbayarkan hingga akhir. Pada akhirnya, ego manusia bersembunyi dibalik realistisme dan empirisme.

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, U. A., 2013. Saras Dewi; Robertus Robert;. Jakarta: Associate freedom Institute.

Capra, F., 2001. Jaring-Jaring Kehidupan : Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan. Fajar Pustaka Baru. Yogyakarta.

Keraf, A. S., 2014. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan. PT Kanisius. Yogyakarta

Sugiharto, I. B. & Rachmat, A., 2000. Wajah Baru Etika & Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Sutoyo, 2013. Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup. Jurnal Hukum, 4(1): 192-206.

 

Editor : Dewi Sulastri

2 Komentar

© Copyright 2022 - LPM basic FMIPA UB