Breaking News

Membumikan Konsep ‘Sinau Urip’ dalam Pendidikan

Gambar oleh Humas LPM basic


    Menurut konsep pendidikan dari Paulo Freire, pendidikan merupakan alat untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan atau bisa dikatakan sebagai usaha memanusiakan manusia. Konsep pendidikan ini menempatkan manusia sebagai subjek aktif dalam proses pendidikan itu sendiri yang mampu berfikir, bereaksi, dan berefleksi atas pikirannya sendiri.

    Hakikat pendidikan jika didasarkan pada konsep Paulo Freire, pendidikan seharusnya berorientasi pada pengenalan realitas diri masyarakat dan lingkungannya dan memiliki kesadaran serta potensi untuk menyelesaikan permasalahan. Namun, seiring perkembangan zaman, pengetahuan dan kearifan lokal secara perlahan mulai dipinggirkan (hal 7).

    Sedikit me-review bahwa dalam buku mencoba memberikan gambaran riil model pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan non pemerintah di berbagai desa di Nusantara berdasarkan pada kurikulum yang bertolak belakang dengan kurikulum yang ditetapkan oleh Kemendikbud-Ristek. Sebagai contoh yang dilakukan oleh SRP Payo-Payo yaitu sebuah Ornop yang berkedudukan di Kabupaten Maros, bekerja dalam bidang pembangunan pedesaan.

    SRP Paro-Paro melakukan sebuah penelitian tentang tindakan kolektif (collective action). Hasilnya kemudian menjadi satu bahan penting dalam merancang program pelatihan pengorganisasian dengan memanfaatkan pendekatan riset aksi partisipatif (Participatory Action Research, PAR). SRP Paro-Paro memilih PAR sebagai pendekatan Pelatihan Desa karena beberapa alasan.

    Contoh lain adalah Sokola Rimba punya cara belajar yang berbeda dibanding sekolah konvensional. Salah satunya adalah konsep pendidikan kontekstual. Anak diberi kebebasan ingin belajar apapun dan dilibatkan secara langsung dalam pemecahan masalah. Hal ini penting agar anak-anak belajar dari keluarga dan komunitas masyarakatnya. Selama di Sokola Rimba ia banyak bertemu dengan masyarakat adat dan membuatnya makin percaya bahwa masyarakat adat sejatinya kaya pengetahuan.

    Model sekolah  lainnya adalah apa ynag dilakukan oleh Sarikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah pada tahun 1999. Gagasan tersebut lahir karena miris melihat petani yang berpendidikan rendah, miskin, dan terpinggirkan. Selanjutnya pada tahun 2003 ia mendirikan sekolah informal Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah untuk anak-anak petani. Masih ditambah model SMA Eksperimental Sanggar Anak Alam (SALAM) yang menekankan bahwa pendidikan yang hanya memperpanjang rantai pengisapan kapitalisme atas rakyat dan harus diakhiri. Pendidikan denan kesantunan lingkungan sekitar harus dimulai. Pendidikan tak melulu diarahkan untuk menciptakan pekerja murah. Ia juga perlu diarahkan untuk menghasilkan petani yang mandiri, usahawan kecil yang berswadaya, dan pengrajin yang dapat bersaing. Satu contoh lagi terkait pendidikan yang membebaskan adalah Pesantren Arkeologi yang terdapat di kaki  Gunung Halimun, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, yang merupakan sebuah pesantren salafi. Para santri dan santriwati pesantren ini merupakan anak-anak dari lingkungan sekitar Kecamatan Cisarua, meskipun terdapat santri yang berasal dari luar kota, tetapi jumlahnya sangat sedikit.

    Secara tegas Freire menunjukkan relasi sosio-budaya, proses pendidikan seperti itu menuju “dehumanisasi” baik kepada kaum yang menindas maupun kepada kaum yang tertindas. Berangkat dari pengalaman itu, dikembangkan metode penyadaran (konsistensi) dengan menggunakan media alfabetisasi untuk mencapai jalan keluar (hal 59-60).

    Kesimpulannya  adalah bahwa pendidikan yang membebaskaan bukan berasal dari lembaga formal yang dikelola oleh Kemendikbud-Ristek yang terstruktur dari pusat sampai ke daerah. Lebih tepatnya lagi pendidikan yang membebaskan itu dapat diperoleh dari kehidupan riil sehari – hari di masyarakat. Pendidikan tentang Sinau Urip (belajar dari hidup) jauh lebih penting daripada pendidikan formal walaupun dengan jargon “merdeka belajar”.

    Buku ini juga otokritik terhadap sitem pendidikan nasional (sisdiknas)  yang rapuh di semua tingkatan baik dari pusat sampai ke daerah yang selalu berganti – ganti kebijakan setiap pergantian menterinya. Oleh karena itu, gerakan membumikan pendidikan dalam konteks sinau urip harus selalu dibicarakan dan dibahas dalam forum – forum tertentu.

Kelebihan dan Kekurangan Buku

    Buku dengan setebal 165 hlm + xxxvi, tetapi berisi berjuta-juta pengetahuan yang luar biasa tentang pendidikan yang membebaskan yang membuat pembacanya berselancar dengan mimpi-mimpi di dunia pendidikan yang merdeka. Ada beberapa tawaran yang disampaikan dalam buku ini, seperti tawaran kebijakan strategis setingkat desa untuk memulai pendidikan yang membebaskan dan menyokong nilai-nilai kejujuran dan anti korupsi.

    Tetapi sayang, pengetahuan sebagus ini, tidak didukung performance buku yang menarik, seperti cover kemudian juga font tulisan yang cenderung kecil. Mungkin bagi orang awam kebanyakan, penggunaan bahasa asing kurang dimengerti atau dipahami karena baru membaca atau mendengar diksi-diksi tersebut. Urutan dan penulisan buku kurang detail, tidak disertai pendahuluan, isi, dan penutup, serta tidak didetailkan bab per babnya.

Identitas Buku

Judul Buku              : PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN: Membalik     Paradigma Pendidikan Urban

Dewan Redaksi       :   Wahyudi Anggoro Hadi, Ryan Sugiarto, Ahmad      Musyaddad, Any Sundari, AB Widyanta, dan Sholahuddin Nurazmy

Penerbit                     :    Yayasan Sanggar Inovasi Desa

Cetakan                     :    Pertama,  Agustus 2020

Ukuran Buku            :    13  x 19 cm

Tebal Buku               :    xxxvi + 165 halaman

Judul Resensi           :    Membumikan Konsep  ‘Sinau Urip’ dalam Pendidikan

Resensator                :    Junaedi, S.E. (Tim Media Yayasan Sanggar Inovasi Desa(YSID))

 

Editor : Tim Redaksi LPM basic

                 


0 Komentar

© Copyright 2022 - LPM basic FMIPA UB