Breaking News

Dilema Mahasiswa Salah Jurusan: Mundur atau Terus?


“Duh, gimana ya matkulnya susah banget, mana banyak praktikum lagi. Kayaknya aku salah jurusan, deh!”

Eittss...tunggu dulu fren, bukan begitu konsep salah jurusan.

Sewaktu menjadi maba (mahasiswa baru), seringkali saya mendengar kalimat itu keluar dari mulut teman-teman saya (bahkan saya sendiri, hehe) ketika sedang kesal atau jenuh terhadap tugas kuliah yang terus menumpuk tak berkesudahan. Apakah saya dan mereka salah jurusan? Belum tentu.

Bagi para mahasiswa, ungkapan ‘salah jurusan’ seolah akrab di telinga dan bukan suatu hal yang baru. Ungkapan ‘Salah jurusan’ sering dijadikan dalih ketika menghadapi situasi yang kurang baik. Contohnya, ketika mengalami kesulitan dalam mengikuti suatu perkuliahan yang berbuntut pada IPK rendah, kebanyakan maba akan menganggap bahwa hal tersebut adalah dampak dari salah jurusan. Padahal tidak sepenuhnya demikian. Merupakan sebuah keputusan yang buru-buru apabila dengan hal tersebut kemudian muncul vonis ‘salah jurusan’. Ada berbagai faktor yang harus dipahami terlebih dulu dari permasalahan tersebut, mulai dari fase adaptasi cara belajar, lingkungan pergaulan, manajemen waktu, dan lain-lain.

Pernah mendengar ungkapan “God’s Plan is A Good Plan (Rencana Tuhan adalah Rencana yang Baik)”? Kiranya ungkapan tersebut cocok dijadikan kalimat penghibur ketika merasa salah jurusan, seolah menyampaikan pesan bahwa semuanya akan baik-baik saja karena memang sudah direncanakan Tuhan. Tetapi, apakah benar begitu? Apakah dengan salah jurusan semua hal akan baik-baik saja?

Saya rasa tidak selalu demikian.                                                              

Sebuah survei yang dilakukan oleh BestColleges pada 2020, mengungkapkan bahwa sebanyak 61% responden yang merupakan lulusan perguruan tinggi, memilih untuk berpindah jurusan jika mereka bisa mengulang waktu dan sekitar 26% dari responden tersebut mengungkapkan alasan mereka ingin pindah jurusan adalah untuk mengikuti passion mereka.

Berbagai dilema yang dihadapi mahasiswa salah jurusan

Akan selalu ada harga yang dibayar atas setiap keputusan, termasuk untuk melanjutkan kuliah dengan jurusan yang tidak sesuai keinginan.

Saya menemukan sebuah komentar menarik yang ditulis oleh Stefanus Henza pada 2018 di situs tanya-jawab Quora, komentar tersebut berisikan tanggapan atas pertanyaan ‘Mengapa memilih untuk tetap berkuliah meski salah jurusan?’, begini tulisnya:

“Sudah kepalang basah, sekalian saja nyebur dan berenang. Akibatnya? Sekarang saya megap-megap kehabisan napas dan timbul tenggelam diterjang ombak.”

Begitulah, alih-alih menjadi jago berenang dengan modal nekat, eh malah megap-megap di akhir cerita. Niat hati meneruskan apa yang telanjur dimulai, ternyata ketika dicoba semakin kesulitan beradaptasi.

Menurut Susilowati (2008), beberapa konflik yang dapat muncul ketika mahasiswa merasa ‘salah jurusan’ antara lain konflik psikologis, akademis dan relasional. Dalam proses adaptasi dan pemecahan konflik, dikenal suatu istilah yakni coping strategy. Singkatnya, coping strategy merupakan cara-cara unik yang dilakukan individu untuk mengatasai konflik.

Ada dua kategori pemecahan konflik secara umum:

  1. Problem focused coping, yakni cara penyelesaian masalah yang berfokus pada masalah itu sendiri dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan baru yang potensial dalam penyelesaian masalah tersebut.
  2. Emotional focused coping, yakni cara penyelesaian masalah yang berfokus pada emosi individu dengan pengaturan respons emosional terhadap stres tanpa mengatasi sumber masalah

(Lazarus & Folkman, 1984).

Apabila individu menganggap bahwa sumber stres berasal dari lingkungan masih dapat diatasi, maka individu melakukan problem focused coping. Sedangkan apabila sumber masalah itu sudah tidak dapat diatasi dengan pendekatan tersebut alias sudah mentok, maka coping strategy yang mungkin dilakukan adalah opsi ke-2, yakni menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk mengurangi stres emosional yang dirasakan oleh individu tersebut (emotion focused coping).

Dalam kasus mahasiswa salah jurusan, setidaknya individu harus memahami terlebih dahulu beberapa hal berikut:

  1. Sumber permasalahan,

Identifikasi sumber permasalahan menjadi suatu hal yang paling penting sebab dari sini akan muncul berbagai pertanyaan ‘Mengapa?’ yang jika ditarik lebih jauh ke atas maka akan sampai pada akar permasalahan.

  1. Sumber daya atau ‘amunisi’ yang dimiliki,

Setelah mengenali sumber permasalahan, mengumpulkan dan mengenali sumber daya yang dimiliki juga penting. Aspek ini dapat meliputi berbagai hal antara lain:

-          Aspek finansial

-          Keyakinan dan kemampuan diri

-          Lingkungan (Support system)

  1. Kemungkinan usaha yang bisa dilakukan

Ketika dua poin di atas sudah diuraikan satu-persatu, maka tibalah pada pengambilan keputusan melalui coping strategy.

Salah jurusan ibarat berada di sebuah kapal besar yang hampir karam. Kita dihadapkan oleh dua pilihan: tetap berada di atas kapal menunggu bantuan datang atau menaiki sekoci di tengah lautan terbawa ombak tanpa tahu arah. Dua pilihan sulit yang harus dipertimbangkan secara matang dengan melibatkan coping strategy yang tepat.

Bagi mahasiswa ‘salah jurusan’ yang tak memiliki kesempatan untuk putar haluan, tak ada salahnya mencoba berdamai dan menerima (meskipun butuh waktu yang agak lama, sih). Kampus bukanlah tempat untuk sekadar duduk di kelas, mendengarkan penjelasan dosen dan mengerjakan tugas. Tetapi lebih dari itu, banyak hal dapat ditemui di bangku kuliah, salah satunya bertemu orang baru dengan berbagai latar dan pemikiran yang berbeda.

Saya jadi teringat seorang kakak tingkat saya yang berhasil lulus dan membuat peluang kerjanya sendiri (yang mana tidak ada korelasi dengan jurusannya sewaktu kuliah). Ada satu pesan darinya yang saya ingat sampai sekarang,

“Kalau merasa salah jurusan dan sudah mentok tidak bisa mengulang, it’s okay. Cari irisannya.”

Mencari dan menemukan satu hal yang disuka pada jurusan yang ‘bukan kita’ merupakan sebuah tantangan sekaligus pekerjaan yang tidak mudah. Maka dari itu, penting untuk memperluas sudut pandang terhadap segala sesuatu dan memperbanyak kontemplasi agar lebih mengenali diri sendiri.

Penulis    : Lolita Aurensia Franelsa

Editor      : Fathul Aziz

0 Komentar

© Copyright 2022 - LPM basic FMIPA UB