Jalan Keluar Sistem Perkuliahan di Tengah Wabah?
Pemberlakuan new normal beberapa waktu lalu oleh Pemerintah nyatanya
tidak menghambat laju pada bidang pendidikan utamanya pada perguruan tinggi
secara menyeluruh, dikutip dari laman kemdikbud.go.id
pada Rabu (17/06), Pemerintah melalui Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Anwar Makarim menegaskan bahwa
sistem pembelajaran pada perguruan tinggi tahun ajaran 2020/2021 dimulai pada
bulan Agustus 2020, sedangkan pada perguruan tinggi keagamaan tahun ajaran 2020/2021 akan dimulai pada bulan
September 2020. Hal ini tidak mengubah kalender akademik yang telah ditetapkan
sebelumnya, pembelajaran tersebut pelaksanaannya tidak bisa berjalan normal
seperti sebelum wabah Covid-19 menyerang Indonesia, untuk mendukung pemutusan
rantai penyebaran Covid-19 sistem Pendidikan di perguruan tinggi masih harus
tetap dilakukan secara daring dari rumah mengingat masih banyaknya wilayah
dengan zona merah, oranye dan kuning bahkan hitam.
Berkaitan
dengan pelaksanaan kuliah yang dilakukan secara daring sebelumnya banyak
mengalami kendala, misal mahasiwa terkendala jaringan, kuota internet atau
bahkan tidak sepenuhnya bisa diikuti secara maksimal oleh sebagian mahasiswa
pelosok ataupun non pelosok sehingga dirasa perkuliahan kurang maksimal. Pembelajaran
dengan sistem ini nyatanya mau tidak mau harus diterapkan kembali pada tahun
ajaran baru 2020/2021 mendatang, yang masih menjadi tanda tanya besar apakah kuliah
secara daring ini diiringi dengan pemotogan atau penundaan uang kuliah tunggal
(UKT) yang dibebankan kepada mahasiswa setiap memasuki awal semester mengingat
dengan keadaan seperti ini semua mahasiswa tidak lagi menggunakan fasilitas
kampus yang masuk ke anggaran belanja, sehingga tidak adanya dana yang
dikeluarkan untuk fasilitas penunjang pembelajaran mahasiswa di kampus serta akankah adanya subsidi kuota untuk
berbagai operator yang bisa diakses mahasiswa untuk menunjang suksesnya kuliah
daring hingga berakhirnya satu semester yang akan datang, dimana faktor ini
menjadi bagian terpenting dalam suksesnya pembelajaran sistem daring yang telah
dicanangkan.
Sehubungan
dengan pernyataan resmi dari Kemendikbud tersebut, keesokan harinya yakni pada Kamis
(18/06), mahasiswa UB yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Resah Brawijaya
atau kerap dikenal dengan ‘Amarah Brawijaya’ menggelar aksi di depan gedung rektorat
dan menyuarakan tuntutan mereka. Ada lima poin tuntutan yang disuarakan, diantaranya
adalah pemangkasan UKT sebanyak 50%, pembebasan UKT bagi mahasiswa yang sedang
menempuh tugas akhir, pengajuan pembebasan, pengurangan, dan/atau penundaan
pembayaran UKT bagi mahasiswa serta mekanisme tersebut diatur dalam Peraturan
Rektor, dan poin tuntutan kelima adalah transparansi atau keterbukaan informasi
publik mengenai Rancangan Belanja Anggaran (RBA), Kertas Kerja, dan Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Universitas Brawijaya 2020.
Dilansir dari Press Release Amarah Brawijaya, menanggapi hal tersebut, Abdul Hakim selaku Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan menyebutkan bahwa segala prosedur pembebasan maupun penurunan UKT sudah diatur dalam Peraturan Rektor UB No.17 Tahun 2019. Namun menurut pihak Amarah Brawijaya, peraturan tersebut dinilai kurang relevan dan perlu adanya pembaharuan mengingat kondisi pandemi ini yang tidak bisa disamakan dengan kondisi tahun lalu pada saat peraturan rektor tersebut disahkan. Kemudian mengenai tuntutan adanya transparansi dana, pihak rektorat meminta waktu 12 hari kerja untuk mengkaji lebih lanjut terkait hal ini dan akan memberikan jawaban paling lambat 30 Juni 2020. Tuntutan keterbukaan informasi publik ini bukan tanpa alasan, melainkan untuk membantu dalam proses auditing agar mahasiswa dapat memberikan usulan kepada rektorat biaya apa yang dapat dihemat, seperti penggunaan listrik, WiFi, dan air, untuk memberikan subsidi berupa keringanan UKT maupun SPP bagi mahasiswa di semester depan. Mari kita tunggu keterbukaan informasi dari pihak rektorat pada esok hari, 30 Juni 2020. (hzn/aas/laf)
No comments