"This Time: di Bawah Sinar Rembulan"
“Tonight the
sky above
reminds me of you, Love.
Walking through wintertime, when the stars all shine.”
reminds me of you, Love.
Walking through wintertime, when the stars all shine.”
Dalam volume super
rendah, aku memutar nyanyian Jonathan Rhys Meyer yang sebetulnya jarang dikenal itu. Jarang dikenal, bahkan, aku yakin ‘dia’ pun tak pernah mendengarnya. Namun
percayalah, melodi yang Rhys bawakan sangat mampu menenggelamkanku dalam imaji
penuh emosi yang tak pernah jauh-jauh darinya.
14 November 2016.
Fenomena supermoon menjadi kedokku
memandangi rembulan di penghujung malam. Aku hanya diam. Memandang. Mengingat kilas-kilas
guratan malam yang sempat terekam. Bulan sabit?
Kabut tipis? Bulan terbelah di tengah jalan? Aku tak bisa membohongi diriku
sendiri bahwa rekaman-rekaman itu terasa lebih jelas ketimbang purnama raksasa
yang kini sayu di atas kepala.
“Supermoon malam ini adalah yang paling terang dan paling besar sejak 70
tahun silam,” kata berita-berita di
internet itu. Tapi mana, mana? Kilasan-kilasan
lalu itu justru lebih besar dan lebih terang.
“The angel from the stairs
will tell you I was there,
under the front porch night
on a mystery night.”
Berulang-ulang melodi
itu timbul tenggelam seiring awan tebal-tipis yang hilir mudik di hadapan sang
rembulan. Komposisi gitar dan berbagai instrumen musik string mengalun meresapi malam. Aku tak bisa membohongi diriku
sendiri bahwa malam ini pun sedikit kelam.
“MAHASISWA ADALAH AGEN
PERUBAHAN, SOCIAL CONTROL, IRON STOCK!!”
“MASA DEPAN INDONESIA
ADA DI TANGAN GENERASI MUDA! DI TANGAN MAHASISWA!”
“MARI SUKSESKAN
DEMOKRASI YANG SEHAT! DEMOKRASI YANG BERTANGGUNG JAWAB!”
“........!”
“!”
Aaaaaaaah. Apalah itu teriakan-teriakan memekakkan telinga. Aku tak pernah ambil pusing soal apalah itu demokrasi. Mau demokrasi
sungguhan, demokrasi mainan. Aduh,
terserahlah terserah.
Fenomena supermoon menjadi kedokku memandangi
rembulan di malam November. Meski sembunyi di balik mendung, bulan yang di atas
itu lebih menenangkan dibanding Bulan November. Sepanjang November ini adalah
hari-hari saat malamku tak diisi oleh puisi-puisimu. Sepanjang November ini
adalah hari-hari di mana aku harus melepas kenangan (tentang)mu. Sepanjang November ini
adalah kemeriahan pesta demokrasi.
Demokrasi dalam
kampus.
Demokrasi yang perlu ditanya lagi apa maknanya.
“I wondered what might
happen
if I left this all
behind.
Would the wind be at
my back?
Could I get you off my
mind?”
Lama aku masih terdiam
memandang rembulan. Melukis sketsa-sketsa jingga saat dulu aku melintasi jalan
di lereng bukit di Bulan November. Begitu
terang, begitu memabukkan. Larik-larik kawahnya tertengok jelas di balik
pepohonan lereng bukit. Semburat awannya menari indah menyejukkan bayangan
malam. Dan yang paling jelas gemuruhnya adalah bahwa aku masih menggandeng
sepasang tangan. Tangannya.
Namun untuk sekarang,
cukuplah bagiku lembaran kisah itu pernah
berkisah, disaksikan purnama yang dulu bahkan tak raksasa. Soal demokrasi?
Ah, sudahlah. Lihat saja para aktivis berkampanye penuh urat. Kampanye pada
siapa? Untuk apa? Kenangan sembilan delapan sudah lama lewat. Lihatlah kawan-kawanmu
yang 'katamu' apatis itu entah sedang apa. Berapapun jumlah Dewan Perwakilan tak akan
berpengaruh pada kelulusan mereka. Siapapun Presidennya tak akan mengganggu
keberlangsungan studinya. Lantas buat apa? Masihkah harus belajar berdemokrasi,
pasang umbul-umbul mewah sana-sini? O, ya, tentu,
kata panitia dan para calon. Lantas mana? Mana gerombolan yang katanya
punya kekuatan tak terbendung itu? Mana suara partai-partai yang sudah punya
bendera itu? Mana calon-calon pemimpin yang katanya mau menyelamatkan bangsa
itu? Mengapa masih disimpan-simpan saja? Toh yang terjadi sejak bertahun lalu adalah
kursi yang tak terisi penuh.
Seperti sebilah tempat
duduk di sebelahku. Yang entah sejak kapan telah ditinggalkan pemiliknya karena
aku yang terlalu sibuk memandangi purnama di atas sana.*
*ditulis di bawah sinar rembulan oleh seorang penikmat langit malam.
No comments